Alkisah, seorang Sahabat Nabi bernama Abdurrahman bin Auf hatinya sedang ambyar. Pasalnya, ia sayup-sayup mendengar Kanjeng Nabi bersabda bilamana Abdurrahaman bin Auf akan masuk surga terakhir, karena kelewat kaya. Beberapa riwayat lain mengatakan Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak. Alasannya juga masih serupa: dia kelewat kaya. Orang miskin, dengan demikian, adalah golongan yang paling cepat masuk surga, karena malaikat tidak punya alasan untuk mengaudit lebih jauh kekayaan si miskin selama di dunia.
Siapapun pasti tahu bahwa yang namanya Abdurrahman bin Auf itu kekayaannya bukan main. Saking kayanya, seorang istri Nabi, Siti Aisyah, pernah memberi kesaksian jika kafilah Abdurrahman bin Auf melintas, dapat dipastikan gemuruhnya tak pernah putus. Malahan, Abdurrahman bin Auf dikabarkan pernah memborong dagangan dari kota Syam dan dibawa pulang ke Madinah dengan jumlah yang tidak sedikit. Selain itu setiap perjalanan pulang, sedikitnya 700 kontainer (baca: unta) selalu menyertai kafilah dagangnya.
Singkatnya, Abdurrahman bin Auf lalu bertekad untuk menjadi miskin. Kebetulan, pasca perang Tabuk, kurma-kurma di Madinah mengalami gagal panen. Harganya pun anjlok, karena kurma-kurma di Madinah menjadi busuk.
Menyadari adanya peluang untuk jatuh miskin, Abdurrahman bin Auf bergegas membeli semua kebun kurma yang menjadi busuk itu, dengan harga yang setara dengan kurma normal.
Tidak ada yang dirugikan dalam perkara ini. Ibarat gayung bersambut, kedua pihak sama-sama riang gembira. Bagi pihak sahabat yang kebun kurmanya dibeli oleh Abdurrahman bin Auf, mereka tidak jadi rugi, malahan kalau dihitung-hitung untung besar. Sebaliknya, tekad Abdurrahman bin Auf untuk menjadi miskin pun akhirnya terwujud.
Namun, semesta memang punya aturan mainnya sendiri. Atas kuasa Allah, di belahan bumi lain, tepatnya di negeri Yaman, sedang dilanda sebuah wabah penyakit menular. Raja Yaman pun kepalang pusing memikirkan nasib rakyatnya.
Seorang tabib (dokter) lalu menyarankan kepada si Raja bahwa wabah ini sebetulnya masih bisa diatasi. Namun, itu juga tidak mudah. Sebabnya, obat untuk mengatasi wabah tersebut adalah dengan kurma busuk!!!
Dan, ya, kurma busuk itulah yang terdapat di Madinah.
Ringkasnya, Abdurrahman bin Auf pun gagal miskin. Lha gimana, kurma-kurma busuk yang bahkan telah dibeli sampai kebun-kebunnya itu justru dibeli lagi oleh Raja Yaman dengan harga yang tidak biasa: sepuluh kali lipat!!!
Kisah ini cukup masyhur di tradisi Pesantren. Pesan moralnya adalah menjadi miskin atau menjadi kaya itu tidak ada hubungannya dengan, misalnya, kesetaraan status sosial dalam pernikahan: miskin dengan miskin, atau sebaliknya.
Maka, sewaktu Menko PMK Muhadjir Effendy memberi saran kepada Menag Fachrul Razi agar Kementrian Agama mengeluarkan fatwa “pernikahan silang”, kepala saya jadi pusing. Tidak saja karena Kementrian Agama memang bukan merupakan lembaga yang punya otoritas untuk memberi fatwa, tetapi juga kalau dipikir-pikir “fatwa” itu kan diksi a la umat Islam. Tidakah terlintas dalam benak Pak Muhadjir kalau Pak Fachrul Razi sendiri pernah bilang jika dirinya itu Menteri ((((semua)))) Agama?
Awalnya, dibayangkan oleh Pak Muhadjir jika orang kaya menikahi orang miskin, dan begitu sebaliknya, masalah kemiskinan akan teratasi. Orang miskin, dengan begitu, adalah dipandang sebagai sebuah aib d/a beban negara yang harus segera diamputasi.
Padahal, kalau dipikir-pikir lagi orang miskin itu bukan beban negara, tetapi “negara” yang justru seringkali membebani orang miskin. Perlakuan semena-mena terhadap mereka yang lemah, kemudian warga miskin yang seringkali terancam penggusuran ketika terbentur kepentingan pembangunan (yang katanya) untuk hajatan nasional merupakan sederet daftar hitam betapa “negara” sebetulnya turut berkontribusi atas terciptanya kelas miskin baru.
Jadi begini. Mari pertama-tama kita bersepakat kalau orang miskin itu banyak jumlahnya. Rata-rata mereka tinggal di pedesaan. Sawah, kebun, atau ladang merupakan tulang punggung mata-pencaharian mereka.
Sayang, itu semua kini tinggal kenangan. Pun terdapat beberapa, hasilnya tak bisa diandalkan. Malahan, sebagian sudah beralih fungsi. Beberapa telah disulap menjadi jalan, industri, hingga bandara. Ini persis seperti kata Nasida Ria kalau “penduduk makin banyak, sawah ladang menyempit. Mencari nafkah semakin sulit.”
Lebih jauh, tenaga manusia banyak diganti mesin // Pengangguran merajalela // Sawah ditanami gedung dan gudang // Hutan ditebang jadi pemukiman // Langit suram udara panas akibat pencemaran //
Tapi, tak apa, soalnya Pak Muhadjir belakangan mengklarifikasi bahwa pernyataan untuk memintakan fatwa agar orang kaya menikahi orang miskin atau sebaliknya itu hanya intermeso. Plus, kalau kita mau berpikir secara dingin, Pak Muhadjir ini sebetulnya ingin menawarkan satu terobosan yang cukup solutif untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Ya, di tengah kekalutan dan lestarinya kearifan lokal berupa, sebut saja, “pesugihan” untuk meraup kekayaan secara instan, Pak Muhadjir ternyata diam-diam punya cara mudah untuk hijrah dari kemiskinan tanpa harus menanggalkan prinsip-prinsip dasar tauhid, yaitu dengan “kawin silang”.
Ah, andai saja Pak Muhadjir menyadari betapa kerasnya hidup di sebuah peradaban yang kalau kata Abah Lala “randedet ra nde yang” (gak punya uang, gak punya pasangan) ini, pastilah dia akan lebih bijak dalam memaknai sebuah relationship sepasang kekasih dari sekadar urusan menjadi proletar atau borjuis semata.