Kita digembarkan oleh foto Mas Bangun Samudra (MBS), seorang muallaf yang kini kerap diundang ceramah ke sana-sini. Pokok kegemparan tersebut salah satunya bersumber dari foto poster pengajian yang ia akan isi. Di poster tersebut MBS ditulis “mantan Pastor,” dan “S3 Vatican,” — dua hal yang jelas perlu diluruskan dan telah dilakukan dengan baik oleh teman-teman Katolik. MBS bukan mantan pastor dan bukan S3 Vatikan.
Kok bisa dua hal itu muncul? Bisa jadi MBS yang mengaku dan meminta demikian, atau mungkin narasi itu merupakan kekreatifan panitia pengajian.
Panitia acara apapun memang dituntut sekreatif mungkin agar acaranya laku. Namun terkadang mereka lupa bahwa siapapun tidak bisa serta merta menyematkan sesuatu yang bukan tempat. Jika hal itu dilakukan maka sudah barang tentu akan jadi bahan tertawaan dan cemoohan. Persis seperti kejadian ini. Memalukan.
Memang memalukan, persis seperti yang pernah terjadi padaku saat masih Tsanawiyah (SMP) dan SMA. Ketika itu aku sangat tertarik mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kekristenan. Tidak dalam semangat persaudaraan keimanan, alih-alih, hal itu dipicu oleh keinginan menggelora membuktikan Islam adalah agama paling benar. Caranya? Dengan sekuat tenaga menuding kekristenan sebagai salah satu agama paling membingungkan dan kontradiktif. “Semakin aku berhasil meyakinkan diriku dengan cara itu, semakin aku merasa keislamanku otentik,” kira-kira begitulah.
Tapi kenapa harus kekristenan, bukan yang lain? Dari eksplorasiku beberapa tahun ini, aku menemukan seperti ini; dalam trilogi sumber keislaman –alQuran, hadits dan sira (sejarah hidup nabi Muhammad– orang selain-Islam setidaknya dibagi menjadi dua; kelompok pagan (politeis) dan kelompok ahl al-Kitab (pengikut Nabi Musa dan Pengikut Nabi Isa/Yesus). Terhadap keduanya, Islam didakwahkan sebagai agama baru, agama pengganti yang lama. Kami bisa memahami jika kelompok pagan, misalnya, resisten terhadap dakwah tersebut. Namun kami sangat frustasi dan tidak bisa menerima jika Yahudi dan Kristen tidak mau berpindah sebab secara teologi ketiganya banyak kesamaan. Sebagai catatan, dalam pewahyuan selanjutnya, ahl al-Kitab yang tidak mau memeluk Islam dianggap kafir juga.
“Gue bisa paham jika orang lain nggak mau pakai produk gue. Lha tapi ini kan elu, kakak gue, puluhan tahun hidup bareng, keluar dari rahim yang sama, kenapa elu juga ikut-ikutan nggak mau pakai produk gue. Elu tega ya?!” — kira-kira ilustrasinya seperti itu.
Sejak saat itu, si adik membenci dua kakaknya dan diam-diam mendeklarasikan perang terhadap mereka. Perang hanya akan selesai jika dua kakak bersedia memakai produk adik. Menurut Bill Warner dalam “Statistical Islam,” 64 persen isi al-Quran didedikasikan tentang kafir, Hadits 37 persen dan sira membahas kafir sebanyak 81 persen.
Si adik lalu melakukan banyak cara “suci” untuk memastikan seluruh pemakai produknya merawat kekesalan terhadap kakaknya. Konsep jihad –sebelum dimaknai lebih halus dan inklusif oleh para sarjana muslim modern– dimaknai sebagai “holy war” dalam kerangka perang yang digaungkan si adik.
Nah, dalam konteks peperangan, bersiasat adalah hal paling fundamental. Siapa yang kalah bersiasat, dipastikan akan kalah dalam peperangan. Siasat dalam perspektif sang adik adalah kemampuan mengalahkan, bukan masalah benar dan salah. Itu sebabnya, menipu (deceit) diperbolehkan dalam perang. Jadi jangan heran jika ada tokoh atau politisi Islam yang begitu heroik ngomong tentang pluralisme dalam Pancasila dan UUD 1945 di televisi namun sangat kontras dengan praktek prilakunya.
Aku jadi teringat, dalam kitab hadits Sahih Bukhari, ada bab yang menyatakan perang adalah terkait siasat/menipu (babu al-kharb khud’atu) dan bahkan ada juga subbab khusus yang berjudul “al-kadzibi fi al-kharb,” — telling lies in war. Dalam subbab itu, ada hadits yang berisi tentang dua sosok; Muhammad bin Maslamah yang membunuh Ka’b bin Ashraf.
Aku berkeyakinan, sekuat apapun koreksi publik terkait kesalahan pencantuman “mantan pastor,” dan “S3 Vatikan,” tidak akan membuat sang adik berhenti. Sebaliknya, cemoohan dan koreksi akan membuat si adik semakin bergairah dan tertantang mencari cara terbaik meneruskan “perang suci” dan memenangkannya. Termasuk, meyakinkan dirinya sendiri bahwa koreksi dan cemoohan itu adalah siasat sang kakak.
It is all about perception of holy war that no one cannot stop it, babe, unless ….
** Warkop Iwan Pasar Pithik