Pindah agama – Beri Kesaksian – dapat pujian – dan kalau beruntung bisa jadi pemimpin agama atau disebut ahli agama.
Fenomena di atas bukanlah hal baru lagi dan terjadi di beberapa agama. Tentu saja menjadi wajar ketika mereka yang convert mengalami fase lagi sayang-sayangnya dalam beragama. Bagi saya, tidak ada yang salah dalam memeluk agama—bahkan untuk tidak beragama sekalipun. Tapi, menurut saya, orang beragama tidak elok apabila menghukumi orang tak beragama sebagai pribadi yang buruk, meskipun ia berbeda dengan kita. Seperti kata pepatah, banyak jalan menuju Roma, banyak jalan pula menuju Tuhan.
Agama Islam yang saya pahami tidak pernah mengajarkan untuk berbuat serakah sehingga mengkapling surga menjadi milik saya, saya sungguh tak berani. Biarlah itu urusan Tuhan, tugas kita adalah berbuat baik dan menjadi contoh yang baik bagi insan beragama (uswah hasanah).
Nah, fenomena pindah agama itu harusnya menjadi ranah privasi seseorang. Namun, apabila yang bersangkutan hendak memproklamirkan perpindahan agama tidak masalah dan tidak sepatutnya jadi bahan candaan, apalagi cacian. Ingat ya, kita tidak pernah tahu pergumulan apa yang sudah dialami seseorang sampai memutuskan pindah agama.
Saya mempercayai satu hal penting: setiap agama tentu memiliki klaim, merekalah yang paling benar. Sebagai pemeluk agama kita juga harus meyakini bahwa apa yang kita imani benar, namun untuk menegaskan kebenaran tersebut tidak perlulah dibumbui dengan penghakiman agama orang lain.
Sekali lagi saya tegaskan, perpindahan suatu agama ke agama berbeda itu biasa saja. Tapi, tidak bisa dibenarkan apabila kesaksian keimanan tersebut justru digunakan untuk menjelek-jelekkan agama sebelumnya.
Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan salah seorang ustadz bernama Bangun Samudera. Konon katanya, ia adalah mantan pastor dan lulusan S3 Vatikan. Konon, awal mula beliau menjadi mualaf adalah ketika diberikan tugas untuk mencari kelemahan al-qur’an dan ia membacanya di perpustakaan Vatikan.
Perkara beliau menjadi mualaf bagi saya itu sah-sah aja itu hak dia untuk memeluk agama yang diinginkan. Saya justru kalimat ‘mencari kelemahan al-qur’an’ karena Gereja Katholik Roma setelah lahirnya dokumen konsili Vatikan II khususnya dokumen Nostra Aetate menjadi gereja yang inklusif dan tidak menghujati agama lain.
Seharusnya Pak Ustadz kala itu bisa protes ke pemberi tugas karena mencari-cari kelemahan agama lain jelas tidak sesuai dengan semangat yang ada dalam Nostra Aetate. Apalagi, agama bukan hal yang harus diperbandingkan bahkan dilombakan untuk mendapatkan siapa menang siapa kalah.
Nah, sependek pengetahuan saya, Perpustakaan Vatikan itu sangat ketat dan tidak semudah itu untuk masuk, bahkan untuk sebatas membaca. Namun ya tetap khusnuzon, barangkali yang bersangkutan kala itu mendapat izin khusus.
Yang kedua, saya ingin bercerita, ketika saya study di Roma dan seminggu sekali saya berkunjung ke Vatikan saya, sekalipun tidak pernah mendapati ada kampus baik kecil ataupun besar di dalam wilayah administrasi Vatikan. Kalau saya hitung, kurang lebih sudah 20x saya masuk berkeliling di wilayah Vatikan, khususnya di dalam tembok-tembok di sana. Mungkin kala itu, saya kurang teliti atau bisa juga kampusnya sedang bersembunyi karena saya datang hehe. Setahu saya, kampus dan sekolahan berada di wilayah administrasi kota Roma, Italia.
Jadi Pak Ustadz, boleh saja kita bangga dengan agama kita, mengekspresikannya pun juga sah-sah saja, tapi sebaiknya jangan membuat publik percaya kepada hal-hal tidak benar itu. Misalnya gelar S3 yang sebenarnya Sekolah Seminari Setahun bukan Strata 3.
Kalau sekelas Gus Mus, Gus Dur, Buya Syafi’I, Prof. Nadirsyah Hosen dan lain-lain yang sudah belajar agama belasan bahkan puluhan tahun saja ketika menunjukkan kebaikan islam itu tidak pernah membawa-bawa agama lain, masa sih yang masa belajarnya lebih pendek dari mereka berani?
Untuk umat beragama, sebaiknya kita harus menjadi umat yang kritis bukan yang sebatas read and follow atau listen and follow tapi understand dulu baru follow. Kita juga juga jangan dengan mudah terkagum dengan embel-embel ‘mantan ustadz’,’mantan pastor’,’mantan pendeta’,’mantan biksu’—ingat ya, omongan mantan itu jangan gampang dipercaya kadang cuma gombal aja. Begitu ya?
Satu hal lagi catatan penting, orang yang benar-benar memahami agama orang lain InshaAllah justru rasa hormat dan menghargainya akan semakin tinggi. Karena sejatinya ia benar-benar tahu, berbeda dengan yang hanya tahu sepotong tapi sok tempe eh sok tahu ding. Bukan begitu, bukan?