Catatan untuk Ustadz Bangun Samudera Usai Mendengarkan Ceramah-ceramahnya

Kalimat ini memang sekilas memiliki kesan yang kurang enak didengar di telinga. Sebab istilah Ustadz adalah seorang yang sudah mendalami ilmu Islam. Sementara Muallaf adalah orang yang baru masuk Islam. Kayak ada kontradiksi.

Menurut saya hal ini karena sama-sama tidak ada kejelasan kriteria tentang siapa itu Ustadz dan siapa Muallaf. Orang yang sudah masuk Islam 20 tahun pun -jika awalnya non Muslim- masih saja disebut Muallaf, padahal shalatnya sudah rajin, ngajinya sudah lancar, mendalami ilmu juga sedang dilalui.

Seorang Muallaf yang terus rajin belajar ilmu Islam jangan dianggap tidak akan menyalip ilmunya Turis (Turunan Islam). Boleh jadi para Muallaf ini lebih pandai, karena ketekunannya mempelajari ilmu-ilmu Agama. Makanya Maha Guru kita, Gus Mus, pernah dawuh: “Jangan berhenti belajar”. Sebab Allah yang berkenan memberi ilmu tidak pernah melihat status Muallaf atau Muallif.

Sedang ramai dibicarakan saat ini adalah Ust Bangun Samudera. Saya pertama kali berjumpa dengan beliau karena diajak oleh Sahabat sekaligus Guru saya, Ust Luqmanul Hakim. Guru, karena saya ngaji kitab Ihya’ Ulumiddin kepada beliau. Sahabat, karena saya sering pinjam uang kalau lagi kepepet. Saat itu Ust Luqman bilang: “Ini Mas Bangun Samudera. Pembawa Berita TVRI”.

Ya saya ingat betul, karena tiap sore sering muncul di berita TVRI Jawa Timur. Apalagi dulu tidak ada saingan televisi. Ust Luqman inilah yang ngajari privat ilmu Agama ke rumahnya di kawasan Ketintang Surabaya. Kejadiannya ini sekitar 2005.

Berikutnya, sekitar tahun 2013 guru saya KH Imam Syuhada’ sakit stroke. Beliau menyuruh saya menggantikan beliau Khutbah di Masjid kawasan Darmo Permai. Sebagai santri saya langsung menuju ke lokasi. Rupanya Yai Syuhada salah jadwal. Di hari itu adalah jadwalnya Ust Bangun Samudera. Saya pun ‘mundur alon-alon’ menjadi jama’ah. Ternyata penampilan Ust Bangun Samudera sudah berubah. Kumisnya yang menjadi ciri khas di TVRI sudah hilang, berganti jenggot. Alhamdulillah sesuai Sunnah.

Di awal-awal Khutbah saya melihatnya bagus karena menyampaikan keutamaan Bulan Dzulhijjah dari kitab Sahih Bukhari. Namun agak ke belakang telinga saya jadi risih mendengar khutbah beliau yang mulai menyalahkan beberapa tata cara Qurban yang masuk ranah khilafiyah. Beliau katakan bahwa menyembelih hewan qurban dengan menyebut nama pemilik qurban tidak ada dalilnya. Padahal bagi yang pernah membaca kitab-kitab hadis yang besar seperti Sunan Al-Baihaqi ada penjelasannya.

Saya coba tuliskan kesimpulan secara obyektif dalam kaca mata saya (padahal saya tidak pakai kacamata):

1. Kita tidak boleh meremehkan Muallaf yang terus belajar. Bisa saja karena semangat dalam mempelajari ilmu-ilmu Agama maka mereka lebih pandai dari pada kita yang bermalas-malasan dalam mencari ilmu. Kalau menganggap mereka tidak bisa mengalahkan orang-orang yang sudah Islam sejak lahir, ini adalah kesombongan yang harus dihilangkan.

2. Agama kita tidak pernah membatasi ruang kepada siapapun yang berdakwah, mengajak berbuat baik, menyadarkan masyarakat dll. Boleh jadi justru kita yang tidak acuh terhadap lingkungan, mau ibadah, mau maksiat ’emang gue pikirin’. Maka tidak bisa menyalahkan orang-orang yang ingin ada perbaikan, siapapun mereka, termasuk Muallaf ini.

Segmen dakwah di negeri kita ini luas kok, ada yang senang model ngaji full, tipe ngaji guyonan, ngaji diselingi India-an, shalawatan yang diisi pengajiannya, kajian seminar dan sebagainya. Ada juga yang senang dengan perbandingan Agama.

3. Bagi Muallaf semestinya introspeksi diri dulu. Ilmu dalam Islam itu luas, ayat-ayat Qur’an saja 6000 lebih. Jumlah hadis ada ratusan ribu. Aliran dalam Islam ada banyak. Imam-imam Madzhab Ahlussunah wal Jamaah ada ribuan. Ilmu dalam Islam ada ratusan. Kan gak mungkin dalam 10 tahun masuk Islam tiba-tiba menguasai itu semua? Lha wong yang jadi Islam sejak kandungan dan mondok puluhan tahun pun belum bisa menguasai semua kok.

Jadi, sampaikan ilmu tentang iman, hidayah, hal-hal yang disepakati dalam Islam, bukan yang khilafiyah -kalaupun menyampaikan khilafiyah maka sebutkan juga pendapat ulama yang lainnya-. Dan jangan menjadi Ahli Fatwa dahulu, kecuali kalau sudah mendalami ilmu-ilmu di atas. Dan poin utama dalam dakwah adalah mengajak kepada kebaikan, bukan menjelekkan, mengajak bermusuhan, menghilangkan kedamaian dll.