Banyak dari menu makanan yang pernah kita santap mendapat sentuhan dari banyak negara, etnis, hingga bangsa. Makanan itu seperti bahasa yang bisa menyerap berbagai hal dari keberagaman yang ditemui dari pembuat dan penikmatnya. Dalam berbagai kesempatan kita sering lupa akan universalitas kehidupan manusia, yang hadir dalam sebuah makanan.
Beberapa hari ini, dunia sedang disibukan dengan isu virus corona yang disebutkan berasal dari negeri Tiongkok. Hal yang cukup mengelikan saya temui adalah kemarahan pada pemerintah Tiongkok atas kebijakan pada suku Uighur, disalurkan oleh beberapa akun media sosial lewat menyebar kebencian terhadap pola makan binatang eksotis.
Memang disebutkan di beberapa penelitian bahwa memakan kelelawar adalah faktor utama virus berbahaya hingga bisa menjangkit pada manusia. Di mana perilaku tersebut diasumsikan adalah tren dari mayoritas etnis Tionghoa. Stigma lumus tersebut kemudian juga ditambah dengan narasi “azab” sebagai akibat kemarahan Tuhan, atas kebijakan pemerintah Tiongkok pada masyarakat Uighur. Narasi inilah yang dibangun oleh beberapa akun dan terus direproduksi hingga sekarang di media sosial.
Kelakuan netizen tersebut sungguh berbahaya selain memperkeruh keadaan sekaligus membelokkan perhatian masyarakat dari persoalan utama virus, malah meninggalkan kebencian pada etnis tertentu. Di tengah kerisauan umat manusia, kita malah disuguhi persoalan primordial seperti ini justru akan menguras habis rasa empati kemanusiaan kita. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Makanan dan Kepelikan Persoalan Stigma
Salah satu tradisi baru dalam kehidupan masyarakat urban adalah berburu kuliner. Ada hasrat yang ingin dipenuhi terkait pengalaman menyantap makanan yang berbeda sebelumnya, adalah faktor terciptanya tradisi tersebut. Berbagai restoran yang menyajikan berbagai menu hingga yang tidak pernah dikenal masyarakat sebelumnya justru makin menjamur.
Pengalaman mendapatkan dan menyantap bejibun ragam makanan dari segala arah di keseharian kita, justru menjadi prestise yang kemudian di-share di media sosial dan cerita dengan teman sejawat atau para tetangga. Interaksi seperti ini sudah melompat jauh dari kontak manusia dengan makanan di masa lalu.
Claude Levi-strauss menjelaskan pola hubungan kedekatan makanan dan manusia dengan sudut segitiga yang mentah, dimasak, atau busuk, di sini orang dibedakan dengan makna sosialnya. Makanan yang dipanggang, misalnya, karena kontak langsung dengan api, paling jauh dari makanan busuk. Karena itu, daging panggang disajikan untuk tamu terhormat daripada daging rebus. Yang terakhir lebih dekat ke titik busuk, karena air menengahi antara makanan dan api.
Dalam sebuah makanan merekam banyak hal dari sebuah komunitas atau masyarakat yang menyantapnya. Pengalaman baru seperti rasa, bahan, dan lain sebagainya bisa kita temukan saat menikmati menu dari daerah atau komunitas tertentu yang berbeda dengan kita, bahkan dari dapur yang mengeluarkan masakan yang sama.
Lakon kita dengan makanan tidak lagi sekedar menghilangkan rasa lapar, tapi banyak berkelindan dengan berbagai hal seperti sosial, politik dan ekonomi. Kasus stigma di atas hanya satu dari sekian banyak dinamika makanan yang bersisian dengan geopolitik, tapi dari sana seharusnya kita menarik fokus cap buruk tersebut adalah kebencian pada subjek yang mengonsumsinya, yaitu orang Tiongkok.
Kembali ke persoalan virus Corona, kebencian kepada etnis Tionghoa kali ini dibangun pada dua hal yaitu, perilaku konsumsi mereka dan narasi “azab” yang dikirim Tuhan atas kasus Uighur yang meledak beberapa waktu lalu. Hal ini berbeda ketimbang bangunan narasi antipati kepada mereka sebelumnya, karena biasanya dibangun lewat cerita soal ketertindasan atau ketersingkiran dalam politik, sosial terutama ekonomi.
Lewat hal yang paling dekat dengan kehidupan pribadi, yaitu perilaku konsumsi, rasa kebencian akut terhadap ancaman dari etnis Tionghoa semakin dibakar. Dari sana imaji kita digiring untuk percaya pada logika “kesembronoan” makan dari etnis Tionghoa, kemudian rasa kebencian bisa dibangun dengan narasi perilaku esensial dalam keseharian, yaitu makan.
Persoalan ini akhirnya tidak hanya soal virus yang menyebar tapi rasa ketakutan karena diaduk dengan politik kebencian, entah hal ini disadari oleh penyebarnya. Sebab rasa ketakutan kita akhirnya mendapatkan bahan bakar baru yang memiliki logika yang dekat dengan kehidupan kita.
Belum lagi, jika kita hubungkan dengan dalil agama yang tertera di beberapa postingan yang saya temukan. Lewat narasi “diri kita adalah apa yang kita makan”, distingsi antara kita dengan etnis Tionghoa menjadi bahan bakar sempurna terhadap etnis Tionghoa.
Hal ini tentu paradoks karena kita tentu semua setuju bahwa banyak tradisi makanan dari etnis Tionghoa yang telah mewarnai kuliner nusantara, baik cara makan, selera, bahan hingga menu yang terlampau banyak yang kadang tidak disadari itu bagian dari etnis tersebut.
Memang setumpuk ragam menu makanan kadang hanya sekedar lewat belaka tanpa bisa dinikmati karena beragam hal yang mendasarinya. Namun harus disadari, sebagaimana dijelaskan di atas, pemaknaan atas masakan yang diolah manusia terhubung dengan status sosial, agama, level ketersediaan hingga pengalaman manusia.
Jika pemaknaan atas perilaku makan binatang liar yang dianggap barbar dan berbahaya, kemudian hal ini menjadi stigma yang kuat terpendam dan mudah ditanamkan dalam alam pikiran masyarakat Indonesia yang sudah banyak terpapar kebencian terhadap etnis Tionghoa.
Hal paling membahayakan dari stigma di atas adalah penggunaan doktrin agama yang serampangan. Kondisi ini akan membawa kita pada kebencian yang disakralkan oleh agama, sehingga bisa menggerakkan banyak orang terus membenci yang liyan dengan sedikit pemantik. Semoga kita semua bisa keluar dari persoalan stigma ini dan bisa fokus memperhatikan virus ini sebagai ancaman bagi kemanusiaan.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin