Setelah Ashabul Kahfi dibangunkan dari tidur mereka, para penduduk kota Absus yang berada di bawah kekuasaan kekaisaran Romawi saling berdebat satu sama lain mengenai cerita dan keberadaan Ashabul Kahfi. Allah SWT pun memberikan jalan hidayah iman untuk mereka. Mereka akhirnya beriman bahwa nanti akan ada pembangkitan manusia dari alam kubur dan hari kiamat. Allah SWT berfirman:
وَكَذلِكَ أَعْثَرْنا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيها إِذْ يَتَنازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ فَقالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْياناً رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِداً
Wa kadzalika a ‘tsarna ‘alaihim la ya‘lamu anna wa‘dallahi haqquw wa annas sa‘ata la roiba fiha, idz yatanaza‘una bainahum amrohum. Faqolubnu ‘alaihim bunyana. Robbuhum a‘lamu bihim. Qolalladzina gholabu ‘ala amrihim lanattakhidzanna ‘alaihim masjida (21)
Artinya:
“Demikian (pula) Kami pertemukan (penduduk Absus) dengan mereka (Ashabul Kahfi), agar mereka meyakini bahwa janji Allah dan kedatangan hari kiamat itu itu benar. Ketika orang-orang (penduduk Absus) itu berselisih tentang urusan mereka, mereka saling berpendapat: “Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.” (QS: Al-Kahfi Ayat 21)
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menyampaikan bahwa banyak ulama salaf yang menceritakan mengenai ketidakpercayaan masyarakat yang hidup pada masa Ashabul Kahfi terhadap kebangkitan dari alam kubur dan hari kiamat. Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa sebagian dari masyarakat yang hidup pada masa Ashabul Kahfi hanya mempercayai bahwa roh manusia saja yang dibangkitkan, tapi tidak dengan jasadnya. Oleh karena itu, pembangkitan atau pembangunan Ashabul Kahfi dari tidur mereka yang memakan waktu berabad-abad itu menjadi bukti atas kekuasaan Allah membangkitkan orang meninggal dari alam kuburnya.
Pada ayat sebelumnya, yaitu ayat 20, salah satu anggota Ashabul Kahfi dimintai tolong untuk pergi ke kota mencari makanan pokok. Orang ini, menurut Ibnu Katsir, bernama Diqsus. Ia menyangka bahwa tidurnya di dalam gua tidak memakan waktu yang lama. Namun pada kenyataannya ia merasakan perubahan begitu dahsyat di perkotaan sampai-sampai ia tidak mengenalinya. Saat ingin membeli makanan yang dibutuhkan, penjual merasa tidak mengenali mata uang yang digunakan Diqsus. “Kami tidak mengenali uang ini, Anda menemukan harta harun ya?” tanya si penjual. “Saya itu penduduk kota ini. Saya ingat waktu itu kota ini masih di bawah kekuasaan Dikyanus,” kata Diqsus pada pedagang tersebut.
Masyarakat pun menyangka Diqsus gila. Dikyanus hidup tiga abad yang lalu, tapi Diqsus mengaku hidup pada masa itu, dan masyarakat yang ditemuinya sudah berganti pemerintahan. Karena terjadi gonjang-ganjing mengenai Ashabul Kahfi, masyarakat pun datang berbondong-bondong bersama Diqsus menemui temannya yang lain di dalam gua. Konon saat itu kepala pemerintahannya bernama Tidusis. Mereka beriman setelah melihat langsung fenomena yang luar biasa ini.
Menurut Imam al-Thabari, di antara masyarakat Ashabul Kahfi ini ada yang beriman dan ada yang tidak. Namun yang pasti, menurut Ibnu Katsir, yang meminta membangun bangunan di dekat gua atau membangun masjid itu orang berpengaruh di antara masyarakat yang hidup pada masa Ashabul Kahfi dibangkitkan. Menurut Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wat Tanwir, bangunan yang diusulkan untuk didirkan itu bertujuan agar tidak semua orang yang merasa penasaran dapat mengunjungi Ashabul Kahfi sehingga mereka merasa terganggu. Selain itu, pembangunan masjid atau tempat beribadah di dekat gua itulah yang menjadi pilihan. Wallahu a‘lam bis shawab.