Al-Kahf dalam bahasa Arab berarti ‘gua’. Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab menyebutkan bahwa al-kahf itu lebih besar daripada al-ghar yang juga bermakna ‘gua’. Surat al-Kahfi merupakan salah satu surat al-Qur’an, sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wat Tanwir, yang disepakati kebanyakan ayatnya turun saat Nabi Muhammad masih berada di Mekah. Penamaan surat dalam al-Qur’an dengan al-kahfi berdasarkan penetapan langsung dari Rasulullah SAW sesuai isi kandungan surat tersebut. Diriwayatkan dari Abu Darda yang mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang dapat menjaga bacaan sepuluh pertama atau terakhir surah al-Kahfi akan selamat dari fitnah Dajjal” (HR Abu Daud dan Muslim).
Dalam riwayat lain dari al-Bara bin Azib disbeutkan juga mengenai surat al-Kahfi. Al-Bara bin Azib menceritakan bahwa ada seseorang yang sedang membaca surah al-Kahfi, dan di sampingnya terdapat kuda yang diikat menggunakan dua tali. Tiba-tiba mendung menyelimutinya. Mendung itu pun semakin mendekat dan membuat kudanya lari. Esok harinya lelaki itu pun menghadap Rasulullah SAW dan menceritakan kejadian yang dialaminya. “(Mendung) itu adalah rahmat yang turun sebab bacaan Al-Qur’an (Surat al-Kahfi).
Surat al-Kahfi ini turun setelah surat al-Ghasyiyah dan surat al-Syura dalam satu paket. Artinya, surat al-Kahfi, menurut Ibnu Asyur, turun secara sekaligus, tidak dicicil ayat per ayat. Diriwayatkan dari Anas bin Malik yang menyampaikan bahwa surah al-Kahfi itu turun secara sekaligus yang diiringi oleh tujuh puluh ribu malaikat. Lelaki yang mendatangi Nabi, sebagaimana disebutkan dalam ‘Umdatul Qari, adalah Usaid bin Hudhair. Sahabat Nabi yang wafat pada tahun 20 hijriah ini merupakan sahabat Nabi yang termasuk bacaan Al-Qur’annya merdu.
Sementara itu, ulama tafsir berbeda pendapat mengenai jumlah ayat surat al-Kahfi. Mazhab para qari Madinah dan Makkah menyebutnya berjumlah seratus lima ayat. Para qari negeri Syam menyebutnya sebanyak seratus enam ayat. Qari Kufah menyebutnya sebanyak seratus sepuluh ayat. Pendapat terakhir inilah yang banyak kita temukan di mushaf Al-Qur’an di Indonesia.
Terkait latar belakang sejarah turunnya surat al-Kahfi, Ibnu Asyur menjelaskan pendapat ulama-ulama tafsir. Ibnu Asyur mengutip pendapat al-Thabari yang menisbatkan riwayat pada Ibnu Abbas. “Orang-orang musyrik merasa terusik dengan dakwah Nabi dan jumlah umat Muslim yang kian meningkat. Para pembesar musyrik mengutus al-Nadhr bin al-Harits dan ‘Uqbah bin Mu‘aith untuk bertanya pada pendeta Yahudi di Yatsrib (Madinah) mengenai dakwah Nabi Muhammad. Keduanya pun mendatangi pendeta Yahudi di Madinah dan menjelaskan tindak-tanduk dakwah Nabi Muhammad. Pendeta Yahudi itu pun meminta pada al-Nadhr dan ‘Uqbah itu menanyakan tiga hal pada Muhammad, “Tanyalah tentang tiga hal padanya. Jika ia menjawab Anda, maka ia benar-benar nabi. Jika tidak dapat menjawab, maka Muhammad itu hanyalah pembual.” Tiga pertanyaan yang dimaksud pendeta Yahudi itu mengenai ashabul kahfi, zulkarnaen, dan ruh.
Para pembesar musyrik pun menemui Muhammad dan menanyakan tentang tiga hal tersebut pada Muhammad. “Hei Muhammad, kami ingin bertanyan mengenai tiga hal padamu.” “Aku menjawabnya besok,” jawab Rasulullah tanpa mengucapkan insya Allah sambil berharap wahyu turun. Muhammad menunggu wahyu berhari-hari, tapi tak kunjung turun. Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa Nabi sampai menunggu selama lima belas hari. Nabi pun gundah karena wahyu tak kunjung datang, sementara penduduk musyrik Mekah sudah marah dan tak sabar mendengar jawaban Muhammad.
Di saat Rasulullah SAW merasa gundah itulah pertolongan Allah datang. Malaikat Jibril datang pada Nabi membawa surah al-Kahfi. Dalam surah ini diterangkan mengenai Ashabul Kahfi, Zulkarnaen, dan ayat tentang ruh, Mengenai Ashabul Kahfir, surat al-Kahfi menjelaskannya pada awal-awal surat ini. Cerita mengenai Zulkarnaen disebutkan pada ayat-ayat terakhir surah al-Kahfi. Sementara itu, ayat tentang ruh dijelaskan dalam surat al-Isra.