Hingga perayaan Natal kemarin, perdebatan soal “ucapan selamat” yang didominasi narasi pelarangan yang terus diproduksi dibumbui berbagai dalil normatif dari berbagai sumber masih saja terjadi. Persebaran tuturan pelarangan ucapan seakan menjadi ritual tahunan di bulan Desember tersebut, walau tak sedikit muncuk kontra-narasi persoalan tersebut. Distribusi narasi tersebut tak cukup di ranah publik fisik, perdebatan semakin marak di hingga ke ruang publik digital.
Dunia digital, terutama media sosial, dianggap berperan besar mengamplifikasi polemik tersebut sekaligus melipatgandakan dampaknya di masyarakat, terutama saat permasalah ini berubah menjadi kekerasan budaya. Titimangsa polemik ini menjadi kekerasan budaya bukan terjadi dalam semalam, akan tetapi proses tersebut telah terjadi bertahun-tahun hingga sekarang.
Sebelumnya internet yang diasumsikan sebagai ruang virtual dunia maya disimbolkan sebagai kebebasan individu, inklusivitas, mobilitas sosial ekonomi, egalitarianisme, dan bahkan ruang kacau interaksi tak terbatas, beragam di antara individu dan kelompok, karena batas atau sekat yang selama ini membatasi manusia semakin kabur. Kondisi tersebut kemudian berubah, di mana media sosial menjadi lahan menyuarakan ketidaksetujuan dengan cara-cara tidak terpuji, seperti persekusi atau perundungan.
Tidak jarang dengan merundung, menghina, menekan, dan menceramahi, baik secara halus hingga kasar, melintas di linimasa di berbagai platform media sosial. Perundungan sekarang tidak lagi barang yang aneh di media sosial, diantaranya, perundungan dalam polemik ucapan Natal di masyarakat muslim, rentan sekali berubah menjadi kekerasan budaya terhadap kelompok rentan, dalam kasus ini adalah pemeluk agama Kristen dan Katolik.
Bukti bahwa internet telah menjadi alat vital dalam proses kekerasan budaya, terutama pada kelompok minoritas, memang sulit diidentifikasi secara jelas. Sebab, Johan Galtung yang merumuskan kekerasan budaya menyebutkan bahwa identifikasi kekerasan budaya memang sangat sulit, karena proses perubahan budaya yang cenderung lambat, tiba-tiba kekerasan dan ketidaksetaraan telah menjadi budaya di masyarakat, dan dianggap wajar atau tidak lagi dianggap sebagai kejahatan.
Adapun kekerasan budaya adalah hasil pemikiran Johann Galtung, pemikir asal Norwegia, yang merumuskan tiga model kekerasan, di mana salah satunya adalah kekerasan budaya. Secara garis besar, nilai atau produk budaya yang melegitimasi, membenarkan dan mengesahkan penggunaan kekerasan baik langsung atau tidak langsung, adalah kekerasan budaya. Titik tekannya adalah legitimasi dan proses pembiasaan yang akhirnya kekerasan tidak lagi dilihat sebagai kejahatan.
Wujud kekerasan budaya bisa dilihat dari pidato para pemimpin,dalil dalil dalam agama, dan beragam poster yang membangkitkan dorongan untuk menjalankan kekerasan sehingga kekerasan ini menjadi sah secara budaya dan mendapatkan legitimasi. Bagaimana polemik “ucapan selamat natal” bisa menjadi kekerasan budaya?
Kekerasan Budaya dalam Polemik Ucapan Selamat Natal
Polemik ucapan natal yang beredar luas di dunia maya tidak boleh dimaknai sebagai permasalahan biasa, sebab ada kelindan berbagai hal di dalamnya bisa memberikan makna baru yang rentan menyeretnya menjadi kekerasan budaya. Minimal bisa dilacak pada polemik ucapan yang tersebar di dunia maya, yang tidak hanya menyampaikan ajaran agama (baca:Islam) soal ucapan selamat pada hari raya Natal, namun juga membubuhinya dengan perundungan pada mereka yang tidak setuju dengan pendapat mereka, atau penolakan terhadap paham yang membolehkan.
Narasi penolakan ucapan selamat natal kemudian memiliki makna baru, yaitu simbol keimanan dan ekspresi politik. Proses tersebut ditandai dengan terus beredar setiap memasuki bulan Desember hingga perayaan natal kemarin, dengan narasi yang ditulis atau dibagikan lewat layanan jejaring sosial. Status tersebut bisa dimaknai sebagai ekspresi politik sekaligus simbol dari keimanan seorang yang saling berkelindan, karena menuturkan posisi pemilik akun dalam bingkai keimanan dalam isu tertentu.
Simbol keimanan dan ekspresi politik tersebut saling berkelindan di dunia maya yang oleh Dale Eickelman dan James Piscatori adalah hasil dari kekaburan sosok otoritas suci. Akhirnya, di titik ini perubahan atau pergeseran polemik tersebut menjadi kekerasan budaya terjadi. Walau terdapat perbedaan dengan otoritas dunia nyata pada kesamaran sosok, namun otoritas di dunia maya memiliki kesamaan saat melihat agama dan politik kekuasaan bukan sebagai wilayah yang sama sekali independen. Keduanya adalah wilayah terpisah yang bisa bersinggungan dan beririsan sesuai konteks yang mengelilinginya, seperti, bahasa, ekonomi, kepentingan dan lain-lain.
Interaksi kedua hal tersebut bisa terjadi pada kelompok-kelompok atau negara saling bersaing untuk memanipulasi bahasa dan simbol agama agar memperoleh atau memaksakan ketaatan kepada mereka. Di mana kekuasaan tersebut dimiliki oleh otoritas untuk mengontrol dalam penciptaan diksi dan simbol, yang disebut oleh Pierre Bourdieu, sebagai sumber penting kekuatan atau kekuasaan.
Kekuasaan ini dapat digunakan oleh mereka (baca:otoritas) yang menggenggamnya untuk mempengaruhi pihak lain yang lebih lemah (baca:minoritas) demi mencapai atau mempertahankan dominasi. Praktik kekerasan simbolik yang dilakukan otoritas sering sekali digunakan pada pihak lain untuk memperoleh kepercayaan, kesetiaan dan kewajiban, yang bisa dihubungkan juga sebagai praktik atau proses untuk mempengaruhi pikiran masyarakat untuk melihat tindak kekerasan terhadap kelompok rentan sebagai hal yang alamiah atau bahkan tidak melihatnya sama sekali.
Proses pergeseran ucapan selamat Natal dari sekedar ekspresi hingga menjadi penguasaaan pada diksi dan simbol keimanan dalam yang menjadi dominan di ruang publik virtual, terutama saat kontra-narasi tersebut masih belum diakses massif di masyarakat, maka polemik tersebut telah kekerasan budaya pada kelompok minoritas. Ekspresi dan simbol damai, seperti kebebasan mengucapkan “selamat natal”, akan sangat rentan terkekang dengan narasi kaku kelompok dalam hubungan antar agama. Kondisi ini bisa meninggalkan rasa rasa bimbang atau takut di masyarakat luas untuk menjalin hubungan sosial, dan menganggap proses tersebut menjadi sesuatu yang biasa atau tidak melihatnya sebagai sebuah masalah dalam hubungan antar agama.
Efek domino dari kondisi masyarakat tersebut bisa sedikit banyak dilihat dari respon masyarakat terhadap dua kasus besar yang berhubungan dengan perayaan Natal di Indonesia, yaitu, kasus pelarangan perayaan di wilayah provinsi Sumatera Barat dan imbauan dari Majelis Ulama Indonesia, yang dianggap bukan permasalahan yang besar. Padahal dua kasus tersebut sudah menjadi bukti bahwa kekerasan budaya di masyarakat Indonesia terhadap kelompok rentan, yang sering berubah menjadi kekerasan institusional dan struktural tanpa dilihat sebagai sebuah masalah.
Polemik “ucapan selamat natal” sudah seharusnya dihentikan, terutama di media sosial, dan masyarakat harus dibiarkan bebas memilih untuk mengucapkan atau tidak, sebab pilihan dalil teologis, baik melarang atau membolehkan, terdedah lengkap dalam ajaran Islam yang dipelajari selama ini. Jangan lagi kita memproduksi perdebatan yang sama di tahun akan datang, seakan persoalan tersebut tak pernah selesai apalagi dibumbui dengan perundungan dan persekusi.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin