Setiap memasuki bulan Desember, keributan soal ucapan selamat Natal selalu mewarnai perdebatan di ruang publik kita, khususnya di internet dan terkadang hingga perjumpaan fisik. Sekilas, dalil teologis yang melarang ucapan selamat Natal sangat dominan sebagai legitimasi untuk memproduksi atau reproduksi berbagai konten dan perbincangan di masyarakat dan belakangan baru ada kontra narasi yang juga menggunakan dalil teologis yang kuat. Padahal, jika ditelisik mendalam dan detail setiap ujaran dan konten, terutama di media sosial, tidak selalu disandarkan pada kontruksi teologis yang kuat.
Dalam relasi sosial masyarakat kita yang majemuk, beberapa ucapan dan simptom yang dimiliki salah satu agama seringkali dipinjam atau dipakai tanpa ada perasaan salah atau berdosa, seperti, ucapan salam, InsyaAllah, dan lain-lain. Bahasa dan diksi keseharian di masyarakat memang sangat cair sehingga bukan hal yang tabu bahasa atau diksi seperti di atas.
Kondisi tersebut bisa saja berubah jika kehidupan sosial kita semakin keras dalam membentuk pola hubungan antar individu. Perdebatan soal ucapan Natal yang terjadi hingga sekarang rentan sekali berperan serta membuat pola hubungan yang kaku di masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki teman, sahabat atau keluarga yang berbeda agama. Rasa ketakutan pada label “auto” keluar dari Islam (baca:kafir) bisa saja menghinggapi siapa saja, karena telah mengkonsumsi konten-konten yang menyerukan pada pengharaman ucapan tersebut.
Pengalaman setiap manusia jelas berbeda-beda karena berbagai perbedaan dalam lika-liku hidup yang dijalaninya. Divergensi pengalaman ini yang kemudian sering ter(di)abaikan dalam perbincangan ucapan Natal selama ini. Perdebatan yang tidak pernah selesai tersebut rentan sekali mewujudkan pola perilaku cair di masyarakat berubah menjadi sangat kaku dan hati-hati.
Polemik ucapan Natal, entah disadari atau tidak, telah sedikit banyak merubah pola hubungan antar agama di Indonesia. Polemik ucapan Natal yang tidak hanya beredar dalam bentuk ceramah, tapi juga meme, perbincangan sehari-hari, status di media sosial, hingga akhir-akhir ini ada spanduk terpasang di pinggir ruas jalan atau sekitar masjid. Skema dan pola tersebut berhubungan sedemikian rupa membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka tindakan pada individu dalam kehidupan keseharian bersama orang lain, inilah yang disebut oleh Pierre Bourdieu dengan Habitus.
Habitus juga bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural, yaitu pengaruh sejarah yang secara tak sadar dianggap alamiah. Pola hubungan antar agama yang sebelumnya cair berubah menjadi kaku, bisa dianggap sebagai sesuatu yang alamiah atau minimal tidak disadari telah berubah. Perubahan itu bisa terjadi secara halus, tidak disadari dan tampil sebagai sesuatu yang hal wajar sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam atau “sudah ada dari sananya”.
Kontroversi yang terus berulang soal ucapan Natal rentan sekali menjadikan habitus yang tidak sehat dalam hubungan agama. Sekarang kita bisa lihat tidak banyak ucapan natal yang muncul di ruang publik, kondisi yang berbeda di hari besar bagi umat Islam seperti Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha.
Kebebasan individu dalam ucapan Natal juga terasa sekali dihalangi perasaan takut yang dihasilkan dari hasutan dari berbagai arah di dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran media sosial cukup berperan besar dalam polemik ucapan Natal ini, terutama dalam persebaran pesan yang membentuk kesadaran baru akan hubungan antar agama.
Dinamika kehidupan antar agama yang keras dan kaku bisa saja terwariskan kepada generasi selanjutnya, jadi jika kontroversi ini terus berlanjut dan entah kapan bisa selesai. Yang seharusnya diwariskan adalah mengucapkan atau tidak “selamat natal” adalah hak yang seharusnya dihormati dalam menjalani ajaran agama yang dipercaya. Tapi sayangnya polemik ucapan sering sekali berubah menjadi persekusi atau perundungan bagi yang berbeda pendapat. Inilah pekerjaan utama bagi penggiat kedamaian dan masyarakat seluruhnya, menghadirkan dan menyiapkan habitus yang baik dan damai bagi generasi yang akan datang.
Toleransi di masyarakat sipil bercita-cita menghadirkan kehidupan yang setara dan damai, sedangkan seharusnya negara bisa mewujudkan cita-cita tersebut dengan menampilkan kesataraan dalam kebijakan dan interaksi dengan berbagai umat beragama, yang tidak hanya berhenti dalam slogan dan kampanye kedamaian belaka.
Negara, termasuk pemerintah daerah, harusnya bisa hadir dalam meredam polemik ucapan Natal tersebut dengan membuka ruang yang setara di ruang publik, minimal hadir dalam ucapan Natal sendiri sebagai pejabat publik, bukan malah takut konstituen karena dicap “auto-kafir” setelah ikut mengucapkan, sebab beberapa pendapat hukum yang berbeda dari dalil “tasyabbuh” atau alasan teologis lainnya yang melarang, bisa dipakai untuk menjadi dasar hukum.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin