Syekh Abu Ishaq al-Qayrawani dalam kitab Jam’u al Jawahir fi al Milhi wa al Nawadir pernah menceritakan sebuah kisah seorang waa’izh (واعظ) –pemberi nasehat, tokoh agama, da’i– yang lalai. Mengapa pemberi nasehat itu dianggap lalai? Begini Kisahnya;
Alkisah, di negeri Mesir, hiduplah seorang pemberi nasehat bernama Abu Abdillah al-Khawas, dalam kisah ini ia dianggap sebagai seseorang yang paling lalai, ceroboh, dan sembrono. Suatu hati Abu Abdillah al-Khawas didatangi seorang lelaki yang awam sekali kehidupan agamanya. Laki-laki awam itu bernama Muhammad al-Qamqamani, seorang tukang roti. Maksud si tukang roti itu ialah berkonsultasi ihwal kehidupan beragamanya.
Si tukang roti pun membuka pembicaraan, “Allah telah menjadikan Anda orang saleh, sedangkan saya memiliki jiwa yang sakit, bahkan untuk melakukan amal kebaikan saja rasanya aku tak mampu. Wahai Syekh, bagaimana cara menyembuhkan penyakitku ini?”
Abu Abdillah al-Khawas pemberi nasehat itu pun menjawab, “Perbanyaklah membaca al-Qur’an”.
Mendengar jawaban itu, lalu si tukang roti menimpali, “Aku hanya hafal al-Fatiha, dan surat al-Ikhlas, aku juga membacanya berkali-kali, namun tetap saja jiwaku yang sakit ini tak kunjung sembuh”.
Pemberi nasehat itu pun lantas memberikan sarannya lagi, dia berkata, “Sering-seringlah ingat mati,” ujarnya singkat.
“Aku sudah melakukannya namun aku sering lupa, dan itu seperti tidak ada hasilnya,” jawab si tukang roti.
Tanpa menyerah Abu Abdillah al-Khawas pun memberikan sarannya lagi, “Perbanyaklah menghadiri majelis zikir dan majelis ilmu.”
“Aku telah meninggalkan pekerjaanku dan menghadiri beberapa majelis, namun tetap saja jiwaku tak tenang, jiwaku yang sakit ini tak kunjung sembuh,” jawab si tukang roti.
“Wah, sepertinya Allah telah melaknat jiwa dan hatimu,” celetuk Abu Abdillah al-Khawas sang pemberi nasehat itu.
Mendengar pernyataan terakhir Abu Abdillah al-Khawas, si tukang roti itu pun tidak terima. Ia pun lantas melapor kepada Jirman bin Muthohar seorang polisi yang ada di wilayah itu, si tukang roti berharap agar Abu Abdillah al-Khawas tak sembarangan melaknat orang.
Dari kisah ini kita belajar, bahwa dalam menasehati, dan mendakwahi orang lain dahulukanlah sikap basyiir –pembawa kabar gembira–, jangan tiba-tiba menjadi nadziir –pembawa peringatan– yang dengan seenaknya melaknat, mencaci maki orang lain.
Orang yang mendahulukan nadziir daripada basyiir dalam kisah ini masuk dalam kategori orang yang lalai, ceroboh, dan sembrono. Bukankah Kanjeng Nabi Saw, sosok basyiir wa nadziir? yang selalu mendahulukan menjadi pembawa kabar gembira daripada mendahulukan memberi peringatan. (AN)
Wallahu A’lam.
(Sumber bacaan: Kitab Jam’u al Jawahir fi al Milhi wa al Nawadir. Hlm.350. Karya: Syekh Abu Ishaq al-Qayrawani)