Bulan Rabiul Awal memang sudah terlewat, tapi banyak kenangan dan imaji tentang bulan kelahiran sang Nabi yang mengendap dalam berbagai medium seperti ingatan dan postingan di media sosial. Dikaitkan dengan kelahiran seorang manusia yang teristimewa sekaligus menandai kemunculan agama Abrahamik terakhir di dunia, sebagian tradisi masyarakat Muslim di dunia menganggap istimewa untuk bulan tersebut.
Dalam masyarakat Muslim yang dekat dengan kultur tradisionalisme, bukan hal aneh perayaan bulan Maulid disambut meriah. Berbagai model peringatan yang hampir tidak pernah putus, dari perayaan di Langgar, Masjid, hingga rumah-rumah pribadi. Ada juga tradisi “Baayun Maulid” di masyarakat Banjar, hingga kepercayaan bulan baik untuk melaksanakan umrah dan angka pernikahan dan perkawinan yang meningkat drastis. Sebab, dianggap baik untuk menunjukkan rasa kebahagiaan atas bulan kelahiran Nabi Muhammad.
Perkembangan teknologi dan modernitas yang cukup massif di masyarakat, termasuk kalangan muslim yang juga menikmatinya. Arkian, berbagai ekspresi yang berkaitan dengan bulan Maulid tidak hanya hadir dalam perayaan yang berbentuk perjumpaan fisik, tapi juga berkelindan dengan kultur digital. Diantara kultur digital yang intens bersentuhan dengan Maulid Nabi Muhammad adalah kultur visual.
Sejalan dengan persoalan kultur visual dan Maulid Nabi, penjelasan David Morgan dalam buku “Visual Piety” terungkap bahwa kehadiran teknologi dalam irisan agama akhirnya menghadirkan beberapa ekspresi baru dalam keagamaan. Sehingga agama tidak lagi sekedar catatan doktrin, ajaran dan gerak tubuh ibadah, tapi kesemuanya juga bisa saja muncul dalam bentuk lain dalam ruang baru bernama media atau yang terbaru dalam ruang digital.
Morgan juga mencatat bahwa kultur visual kesalehan yang berkelindan dengan keimanan Kristen sudah hadir sejak lama, misalnya ada gambar Yesus di altar sebagai penambah kekhusyukan dalam berdoa. Gambar atau patung juga disebut sebagai bagian visual paling pertama yang bisa dilacak sebagai bagian dari kultur visual kesalehan.
Memang, terdapat perbedaan yang mendasar dalam Islam dan Kristen dalam mengartikulasikan persoalan kultur visual kesalehan ini. Ada mazhab dalam ajaran Islam yang melarang ada visualisasi bentuk dari makhluk hidup, bahkan ada yang menyebutkan dalam bentuk gambar sekalipun. Menarik penjelasan Hamka soal patung Nabi Muhammad di Amerika Serikat, yang dijelaskan bahwa dia menjelaskan bahwa bukan hanya persoalan hukum haram, tetapi sebaik-baiknya pelukis dan pemahat tidak akan ada yang dapat membayangkan rupa Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, artikulasi kultur visual kesalehan di kalangan muslim tidak ada yang berbentuk makhluk hidup hingga kehadiran teknologi foto.
Biasanya foto dan video yang dihasilkan kamera gawai kemudian diunggah di berbagai platform media sosial yang berhubungan dengan bulan Maulid adalah perilaku yang lazim di kalangan Muslim. Kondisi tersebut menggambarkan bagaimana kehadiran media dan teknologi baru juga menjadikan Islam juga hadir dalam kultur visual, termasuk dalam tradisi di bulan Rabiul Awal, yaitu Maulid Nabi.
Dalam masyarakat yang dikenal dengan kultur tradisionalis yang kuat, kultur visual kesalehan muncul dalam beragam model dan bentuk yang merekam banyak hal dalam bulan Maulid ini. Jika ditelisik dari fungsi, terdapat tiga model ekspresi kultur visual terkait perayaan Maulid Nabi di masyarakat, sepanjang yang bisa ditemukan di berbagai platform layanan jejaring sosial bulan Rabiul Awal kemarin.
Pertama, artikulasi kesalehan. Yaitu, berbagai ekspresi terkait Maulid Nabi muncul sebagai bagian dari artikulasi kesalehan seseorang di media sosial, seperti video yang merekam aktivitas perayaan Maulid Nabi atau ucapan salawat dan doa yang dibaca, rekaman pembacaan salawat, baik dibaca sendiri, bersama-sama atau diunggah dari orang lain, hingga meme dan teks yang disematkan di kolom status atau komentar. Berbagai alasan mudah sekali ditemui, dari pernyataan cinta kepada Nabi Muhammad, memeriahkan bulan maulid, membantah hingga bagian dari syiar agama Islam.
Dua, beberapa ceramah di masa lalu yang diunggah atau dibagikan kembali di media sosial dimaksudkan sebagai dokumentasi ingatan terkait Maulid. Hal ini hanya sebagian kecil dari contoh ekspresi kultur visual yang berfungsi merekam ingatan, yang lain seperti: foto masa kecil ketika diayunan saat mengikuti tradisi “baayun maulid” atau video sedang ziarah di makam Nabi di Madinah saat umrah, biasa menjadi pemantik ingatan-ingatan masyarakat muslim tentang Nabi dan Maulid Nabi di sisi yang lain. Dinamika liminalitas antara yang sakral dan profan bersatu dalam postingan di media sosial.
Ketiga, identifikasi komunitas. Postingan soal Maulid baik yang memakai kultur visual atau tidak, juga berfungsi untuk mengidentifikasi kelompok. Unggahan di media sosial sedikit banyak akan menjadi identifikasi kelompok yang memiliki ketertarikan yang sama, maka algoritma yang ada di media sosial cenderung mengelompokkan lewat berbagai kesamaan postingan. Selain bantuan algoritma yang membentuk ekosistem kelompok, pilihan pribadi yang cenderung tertarik mencari orang-orang yang memiliki kesamaan, dan biasanya akan dibentuk kelompok (baca:grup) di media sosial. Tarik-menarik antara indepedensi ekspresi diri dengan desakan identifikasi kelompok kemungkinan besar dirasakan setiap orang yang masuk dalam grup tertentu di media sosial, walau ada istilah Silent Reader (sebutan anggota grup yang jarang aktif).
Geliat muslim di dunia digital dalam mengunggah postingan terkait Maulid Nabi, memang tidak dapat ditafsirkan tunggal. Tapi, ekspresi kesalehan di dunia digital tersebut sekarang tidak bisa diasosiasikan hanya sebagai postingan belaka, karena ada banyak hal berkelindan diantaranya hal yang profan mewarnai kesakralan ritual. Namun apakah hal tersebut akan merusak kesakralan Maulid?
Pertanyaan ini tentu akan dijawab beragam pula, tapi kesalehan dalam umat Islam juga memiliki dimensi kesejarahan selain dari ekspresi ketaatan ritualistik yang emosional dan kaku. Jelas Maulid Nabi yang tampil di media sosial adalah dimensi kesejarahan yang baru dalam kehidupan Muslim di dunia.
Fenomena Gus Muwafiq terbaru yang disangka telah melakukan perilaku tidak pantas pada Nabi Muhammad, membawa pemahaman masyarakat muslim pada fakta lain di mana menyebarkan tanda pagar (tagar) #bersamarasulullah, tidak jauh berbeda dengan memberi komentar atau membuat status berisikan kritik hingga hujatan kepada Gus Muwafiq, semua hal tersebut diasumsikan atau disandingkan bagian dari kecintaan kepada Nabi.
Masyarakat Muslim digiring memahami fakta tunggal bahwa dinamika agama di media sosial adalah bentuk identifikasi kesalehan dan kelompok yang diikuti. Berbeda dengan kelompok mayoritas di media sosial mungkin mulai dianggap sebagai sesuatu yang tabu, karena perilaku persekusi dan menghujat pada kelompok yang berbeda bisa dianggap sebagai bagian dari kesalehan. Akhirnya, kesalehan semakin banyak bertambah model ekspresinya termasuk pada hal-hal di luar ritual saja.