“Siap bela Rasul? Siap ganyang penghina Allah? Siap bela Rasul? Siap ganyang penista Rasul?”
“Selain melihat banyak penista agama yang masih dibiarkan, sekarang muncul penista lain dan dibiarkan. Siap turun kembali? Siap bela agama kembali? Siap ganyang penista agama??
Kira-kira itulah potongan sambutan yang lebih pantas disebut dengan orasi Slamet Maarif dan Ketum FPI Sobri Lubis dalam dalam Reuni Akbar 212 yang diselenggrakan pada 02 Desember 2019 kemarin. Narasi-narasi persuasif yang dilontarkan membangkitkan semangat audiens untuk “memberi pelajaran” kepada para penista agama, namun tanpa menyebutkan apa itu penista agama.
Pemahaman seseorang tentang suatu agama sangat tergantung dengan “historical background”-nya masing-masing dalam memandang suatu agama. Konteks sambutan Slamet Maarif dan Ketum FPI Sobri Lubis dalam dalam Reuni Akbar 212 tersebut langsung dipahami oleh publik bahwa penista agama yang mereka maksud adalah “Ahok”. Konflik ini sebenarnya tidak hanya menyangkut PA 212 dengan Ahok sebagai individu saja, namun lebih luas dari itu. Melestraikan perseteruan Abrahamic Faith yaitu Islam dan Kristen (meskipun Yahudi termasuk didalamnya. Namun dalam konteks Indonesia, Yahudi bukan termasuk agama resmi negara).
Kedua agama tersebut memang lahir dari warisan ketuhanan yang sama karena satu turunan Nabi Ibrahim. Namun setiap agama tersebut memiliki perbedaan dalam menarasikan teologisnya. Perbedaan narasi teologis ini menyangkut konsep pemahaman agama, dan perbedaan tradisi yang substansial.
Tak berlebihan kiranya jika saya menyimpulkan bahwa aksi berjilid sampai dengan reuni yang dilakukan tempo hari menguatkan asumsi Samuel Huntington. Dalam bukunya Clash of Civilization ia menyimpulkan bahwa ketiga agama samawi atau Abrahamic Faith (Islam, Yahudi, Kristen) masing-masing percaya bahwa iman mereka adalah satu-satunya yang paling benar. Keyakinan inilah yang menyebabkan agama sebagai penyebab konflik di dunia pasca Perang Dingin.
Kedua agama samawi di Indonesia ini meyakini bahwa orisinalitas kitab suci di luar agama yang mereka anut, diselewengkan oleh orang-orang terdahulu. Truth claim (klaim kebenaran) antar keduanya seakan mengobarkan api dendam tanpa berkesudahan. Memperjuangkan agama bagi kedua agama samawi ini sama-sama diyakini mendapat imbalan surga. Yakni, term jihad dalam agama Islam, dan holy war dalam agama Kristen.
Kita bisa membuka kembali bagaimana sejarah Perang Salib dan penaklukan Konstantinopel menjadi bukti nyata bagaimana perjuangan mereka sama-sama mengatasnakan perjuangan agama. Patung Bunda Maria (yang diartikan Maryam dalam ajaran Islam) sebagai penguat kaum nasrani, dan hadits nabi Muhammad SAW sebagai penguat perjuangan muslim.
Karena berasal dari warisan ketuhanan yang sama, maka truth claim yang mereka lakukan akan selalu dibandingkan dengan agama samawi lainnya. Klaim Nasrani sebagai kebenaran tunggal dalam Injil, dilakukan dengan mencari kelemahan ajaran Islam. Pun demikian sebaliknya, klaim kebenaran Islam atas syariat Allah dengan perantara Nabi Muhammad juga dilakukan dengan mencari kelemahan ajaran Nasrani.
Di sinilah akan semakin kita temui ambiguitas dari term “penistaan” itu sendiri. Klaim kebenaran tunggal Islam atas syariat Allah dengan perantara Nabi Muhammad dan juga tradisi di dalamnya, akan selalu dianggap penistaan oleh Nasrani dan dianggap jihad dalam Islam. Pun demikian sebaliknya, klaim Nasrani sebagai kebenaran tunggal dalam Injil dan tradisi keagamannya, akan selalu dianggap penistaan oleh Islam dan dianggap holy war bagi Nasrani.
Term penista sangatlah abstrak, sedangkan pasal penodaan agama menjadi pasal karet, dan bisa dijadikan dasar untuk melemahkan lawan politik maupun rivalitas pada bidang lainnya. Kesadaran bahwa ketegangan antara Abrahamic Faith adalah kecelakaan sejarah yang belum menemukan titik temu seharusnya menjadi refleksi kita bersama.
Saat dunia secara global mulai merumuskan perdamaian international melalui pendekatan multi track diplomacy, dan projek besar 1000 Abrahamic Cicles Project, dengan mencoba memahami aspek sosial budaya antar Abrahamic Faith, justru kita di Indonesia memulai konflik yang baru.
Negara seharusnya mengambil perannya di sini, terutama dalam perumusan regulasi mengenai pasal penistaan agama dan penodaan agama harus disertai dengan batas yang jelas, indikator yang terukur, dan klaisfikasi yang detail. Jika tidak, apa yang terjadi dalam kasus Ahok ini akan menjadi fenomena snow ball. Tidak menutup kemungkinan, perkembangan teknologi dimasa kini dan akan datang bisa mengkategorikan ceramah pastur di gereja, dan ceramah seorang kyai di majlis maupun pengajian sebagai sebuah penistaan agama. Maka, berapa ratus konflik lagi yang akan kita bentuk di negara ini?
Indonesia dengan bermacam-macam ras, suku, dan budaya seharusnya lebih menekankan persamaan antar keduanya. Bagaimanapun, baik Islam maupun Nasrani sama-sama memiliki central monotheiems privat yang bebas dari ketidakpastian. Tuhan mereka dalam sejarah agama Tauhid adalah sama, namun dipisahkan oleh jurang tanpa batas.
Tuhan lah hakim atas segala tindak manusia, dan menyampikan wahyu-Nya dengan perantara nabi. Kesadaran akan persamaan inilah yang seharusnya dibangun di tengah kondisi pluralitas Bangsa. Bukan malah semakin menekan dengan narasi-narasi provokatif yang justru memicu konflik dan perselisihan.
Dogma perdamaian dari langit tidak bisa serta-merta diwujudkan hanya dengan narasi dan orasi. Namun membutuhkan kesungguhan, kegigihan, dan kerja keras tanpa adanya kekerasan dan diskriminasi. Orasi dengan kata-kata “ganyang” menunjukkan kekerasan verbal, dan bisa menjadi pemicu sebuah konflik jangka panjang.
Lantas, sampai kapan kita akan memupuk konflik ini? Atau jangan-jangan memang ketidakteraturan dan ketegangan ini yang kamu harapkan. Please, Tuhan terlalu agung untuk kamu jadikan sebagai kendaraan untuk meraih ambisi duniamu yang tak kekal ini. (AN)
Wallahu a’lam.