Dalam Kitab Risalah Qusyairiyah ada cerita begini: suatu ketika seorang tua 50 tahun dengan agama Majusi datang kepada Nabi Ibrahim. “Saya mau makan,” ujar orang tua tersebut.
“Iya, akan saya beri makan asal masuk Islam,” tegas Ibrahim. “Tidak. Saya tidak mau masuk islam,” tespon orang tua majusi.
Tak selang berapa lama, kemudian Allah mendatangi Ibrahim. “Saya sudah ngasih makan 50 Tahun terhadap orang itu, itupun tanpa harus pindah agama. Kamu cuma mau ngasih makan sekali sudah main syarat-syaratan,” tegas Allah.
Ibrahim tak bisa berbuat apa-apa. Ibrahim segera memohon ampunan atas teguran Tuhan.
Cerita ini kiranya menjadi penting sebagai bentuk kerangka reflektif. Sebuah permenungan betapa pentingnya sebuah keluhuran mengasihi dan menyelamatkan seluruh ciptaan tanpa syarat. Pun perihal yang sangat relegius sekalipun (agama). Biarlah keyakinan tetap dengan posisinya. Jagan diintervensi. Apalagi dipengaruhi.
Banyak sekali catatan histori (cerita-cerita klasik perkampungan) betapa indah dan sederhananya pola relasi keberagamaan mereka. Di kampung, khususnya jawa, Sudah barang tentu agama tak menjadi perbincangan menarik untuk dikaji. Bukan berarti beragama itu tak penting. Sebab relasi hidup orang pedesaan justru lebih didominasi kekuatan budaya. Budaya hidup rukun, saling menghargai.
Dalam suatu kesempatan, saya pernah ikut serta dalam acara nyadran kubur di dusun Krecek, desa Getas, kecamatan Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah. Nyadran kubur sebuah tradisi tahunan yang difilosofikan sebagai wujud mengenang leluhur yang telah meninggal dan diwujudkan dengan syukur (sedekah atau shodaqoh).
Uniknya, desa Getas yang penduduknya terdiri dari tiga keyakinan, justru mampu hidup berdampingan dan saling bahu membahu satu sama lain tanpa memandang keyakinan. Bahkan dalam hal-hal yang strategis dan sensitif. Semisal ritual penguburan jenazah.
Dalam kesempatam itu salah satu masyarakat bercerita kepada saya, bahwa dalam setiap penguburan jenazah, semua saling bahu membahu tanpa melihat agama dan keyakinan dari jenazah tersebut. Lebih dari itu, budaya lokal dan kesungguhan dalam mengasihi sesama masih sangat kental saya jumpai.
Bayangkan, saya tiga hari hidup di rumahnya masyarakat dengan agama Budha. Mereka baik, sangat baik. Bahkan selalu mengingatkan dan menyiapkan saya untuk sholat.
Dalam kesempatan itu pula, kemudian saya teringat bagaimana sosok Almarhum Gus Dur, meski saya belum pernah berjumpa langsung dengan beliau. Ada sebuah pelajaran penting yang saya petik dalam salah satu pernyataan Gus Mus soal Gus Dur. Bagi Gus Mus, mengapa Gus Dur dicintai manusia? Jawabannya sederhana, Karena Gus Dur mencintai manusia.
Dari pernyataan ini, jelas bahwa manusia dan kemanusiaan adalah dua hal yang harus tertanam secara kuat dalam konsep keberagamaan. Sehingga tiap kita akan beragama dengan rasa. Rasa untuk bagaimana meletakkan yang lain sebagaimana kita. Jika kita ingin nyaman, nyamankan sekitar kita. Jika kita ingin dilindungi, lindungilah sekitar kita. Begitupun seterusnya. Sederhana sekali, bukan?
Yang jelas khazanah ini lumrah ditemui di pesantren-pesantren jawa. Tempat dimana penempaan manusia-manusia yang diharapkan menjadi pribadi-pribadi yang tak mudah reaksioner dan mampu menela’ah tiap apapun dengan dingin dan tak gampang mempersalahkan yang lain.
Meletakkan tatakrama (akhlak) dalam menjaga perasaan yang lain. Maka para santri biasanya ditempa sebagai insan yang cerdas, ulet, namun luwes dalam berinteraksi dan menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Sehingga apapun dan siapapun bisa menerima dengan keterbukaan dan kegembiraan.
Di pedesaan-pedesaan, sangat mudah kita jumpai bagaimana relasi para santri dengan masyarakat. Sebab penempaan dasar oleh para kiai-kiai di surau, di pesantren-pesantren pada dasarnya memang mengedepankan adab (tatakrama) dan ini jelas temaktub dalam teks qouliyah lanjeng nabi; qiimatul mar’i ‘ala qodri ‘ilmihi wakhuluqihi– bahwa dengan ilmu (intelektualitas) saja sangat tidak cukup untuk menjadi pribadi yang berharga, perlu disempurnakan dengan akhlak (tatakrama).
Dari berbagai diskripsi tadi, penting kiranya untuk bagaimana berelasi,berbaur tanpa mengedepankan prasangka-prasangka buruk atas dasar agama. Sebab hal itu akan membiasakan kita hidup tertutup (ekakulusif), merasa diri paling benar dan mempersalahkan yang lain.
Jauh lebih penting pula untuk memperkaya literatur-literatur keagamaan yang universal, inklusif, dan fleksibel. Sehingga prilaku keberagamaan akan terkoneksi pada sebuah upaya menyamankan sekitar, mempermudah, dan tak gampang reaksioner. Utamanya menempatkan nilai agama sebagai salah satu pedoman menciptkan kearifan, kelembutan, dan kebijaksanaan. Bukan alat menghakimi, menilai, apalagi mengutuk yang lain.
Pada akhirnya, setiap kita tak lain sekedar pribadi yang mencoba untuk bagaimana terbuka seluas-luasnya, sehingga siapapun bisa masuk. Mencoba untuk bagimana meredam emosi sekuat-kuatnya, sehingga siapapun mampu dimaafkan.
Lalu memantapkan diri untuk terus mengevaluasi raport sendiri tanpa sibuk mengurusi catatan buku raport orang lain.