Era globalisasi dan revolusi industri 4.0 merupakan sebuah fenomena yang sangat luar biasa. Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dan canggih menjadikan semua hal menjadi instan, mulai dari transportasi, telekomunikasi, dan berbagai macam hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari serba teknologi.
Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dan berkembang ada fenomena yang unik yaitu pernikahan lewat video call, bentuknya pun bisa beragam, ada yang antara wali dengan kedua mempelai terpisah, ada pula yang antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuannya saling berjauhan. Secara keseluruhan, dalam masalah tersebut, salah satu atau beberapa unsur pelaku akad tidak saling bertemu dalam satu tempat.
Pernikahan dianggap sah secara syariat jika syarat dan rukun-rukunnya terpenuhi. Menurut Jumhur Ulama, rukun nikah ada empat yaitu ijab kabul atau sigat, ada calon istri, calon suami, dan wali, sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa rukun nikah hanya mencakup ijab dan kabul.
Pada kasus pernikahan melalui telepon, syarat yang dipermasalahkan adalah bersatunya majelis ijab dan kabul. Penyatuan majelis di sini bermakna bahwa ijab dan kabul tidak diselingi atau dipisahkan oleh kalimat asing atau aktivitas lain di luar sigat nikah. Imam Hanafi dan Imam Hanbali berpendapat bahwa meski lafaz kabul tidak diucapkan secara beriringan, misalnya mempelai lelaki sempat terdiam lama sebelum mengucapkan kabul maka akad nikah tetap sah selama tidak diselingi oleh kalimat dan aktivitas lain.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Maliki mengemukakan bahwa disyaratkan untuk bersegera mengucapkan lafaz kabul setelah kalimat ijab selesai. Imam Maliki berpendapat jika selang waktu antara ijab dan kabul tidak terlalu lama maka sigat tetap sah, sedangkan Imam Syafi’i lebih bersikap ketat dengan tidak memberikan toleransi adanya selang waktu yang lama.
Dari beberapa pendapat tersebut, adanya syarat penyatuan majelis ijab dan kabul ditekankan pada kesinambungan waktu antara ijab dan kabul agar kedua belah pihak saling menunjukkan kerelaan dan persetujuan dalam akad nikah. Oleh karena itu, meski pernikahan dengan media telepon tidak mempertemukan kedua belah pihak dalam satu tempat, namun tetap dianggap sah jika memenuhi kriteria kesinambungan waktu ijab dan kabul.
Penjelasan lain datang dari Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah menjelaskan arti satu majelis dalam melaksanakan akad nikah, menekankan pada pengertian tidak boleh terputusnya antara ijab dan qabul.
Al-Jaziri memperjelas pengertian satu majelis dalam mazhab Hanafi adalah dalam hal seorang pria berkirim surat mengakadkan nikah kepada perempuan yang dikehendakinya. Setelah surat itu sampai, lalu isi surat itu dibacakan di depan wali wanita dan para saksi, dan dalam majelis yang sama setelah surat itu dibacakan, wali perempuan langsung mengucapkan penerimaan qabul-nya.
Di Indonesia, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa bahwa akad nikah melalui telepon itu sah, dengan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Alasan yang digunakan adalah hadis riwayat Ummu Habibah. Selain itu, alasan lainnya adalah tidak adanya dalil qath’i yang mengatur tentang teknis akad nikah sehingga masalah teknis tersebut adalah masalah ijtihadiyah. Pengertian satu majelis, bukan mutlak harus majelis makni (satu tempat), akan tetapi juga bisa diartikan sebagai majelis zamani (satu waktu).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Status hukum pernikahan melalui media telepon merupakan suatu hal yang sah. Pernikahan dapat dilaksanakan dengan menggunakan media telepon atau video call, karena selain dapat mendengarkan suaranya dengan jelas, antara ijab dan qabul serta kedua saksi juga dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa yang melakukan ijab dan qabul itu adalah orang-orang yang berakad.
Wallahu a’lam.