Dalam sepekan terakhir, umat Islam Indonesia digegerkan dengan sebuah “disertasi” doktoral di UIN Sunan Kalijaga yang ditulis oleh Abdul Aziz yang menyoal tentang kebolehan hubungan seksual di luar nikah dengan secara khusus mengkaji pemikiran Muhammad Syahrur. Banyak yang bertanya-tanya, siapa sebenarnya Muhammad Syahrur?
Terlepas dari pro-kontra terhadap hasil penelitian disertasi itu, tulisan singkat ini akan lebih membahas garis besar pemikiran Muhammad Syahrur tentang konsep kesetaraan gender dalam Islam. Meski begitu, penulis tidak bermaksud membahas secara lengkap pemikiran Syahrur, hanya beberapa hal yang berkaitan dengan upaya Syahrur dalam memperbaiki kevakuman dan kejumudan dalam pemikiran hukum Islam, khususnya dalam hal relasi antara laki-laki dan perempuan.
Muhammad Syahrur berpendapat, sebagaimana tertuang dalam buku masterpace-nya, al-Kitab wa al-Qur’an, bahwa kajian tentang kedudukan perempuan dalam Islam sejauh ini belum ada yang orisinil. Meski sudah banyak ulama yang mengkaji ayat-ayat tentang gender, namun metodologi yang digunakan tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks kitab suci.
Akibanya, produk pemikiran yang dihasilkan seringkali dianggap tidak relevan dengan zaman. Menurut Syahrur, diperlukan kajian Islam yang lebih komprehensif untuk menghasilkan produk pemikiran yang lebih relevan dengan zaman.
Salah satu permasalahan hukum yang sering menjadi perdebatan dalam diskursus keislaman adalah hukum yang berkaitan dengan perempuan. Dalam memahami hukum Islam tentang perempuan, Syahrur menyamakannya dengan hukum Islam tentang perbudakan. Oleh karena itu, menurutnya, perjuangan emansipasi bagi kaum perempuan harus terus dilaksanakan sehingga tidak ada lagi penindasan terhadap perempuan, baik langsung maupun tidak langsung.
Menurut Syahrur (2012), hubungan kekeluargaan antara laki-laki dan perempuan dapat dibagi ke dalam dua kategori utama: pertama, hubungan emosional atau yang bersifat perasaan. Hubungan ini berbentuk antara lain, melalui hubungan kasih sayang, cinta, loyalitas, dan komitmen antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks ini posisi laki-laki adalah sebagai ‘libas’ bagi perempuan, demikian juga perempuan sebagai ‘libas’ bagi laki-laki. Terma al-libas sendiri berasal dari kata labisa yang dalam bahasa Arab berarti percampuran dan intervensi (saling mengurusi).
Pengertian ini tersirat dalam firman Allah “Dihalalkan bagi kamu pada malam haru bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun pakaian bagi mereka” (al-Baqarah: 187). Hubungan cinta dan kasih sayang merupakan hubungan yang saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama memiliki potensi perasaan dan kecenderungan yang sama, yang satu tidak lebih istimewa dari yang lain.
Kedua, hubungan ekonomi yang terjalin secara objektif dan konsekuensi hubungan sosial yang terjadi dan tidak terpisah darinya. Hubungan seperti ini dijelaskan dalam firman-Nya “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (al-Nisa’: 34).
Ayat ini menegaskan adanya hubungan objektif antara laki-laki dan perempuan, yakni bahwa laki-laki adalah qawwam yang mengandung arti guardian, penjaga dan pelindung bagi perempuan. Term al-qawwamiyah ini diletakkan dalam konteks hubungan yang alami-universal antara laki-laki dan perempuan, bukan dalam konteks eksklusif antara laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman.
Dalam ayat di atas disebutkan faktor-faktor yang menjadikan laki-laki memiliki peran pelindung bagi perempuan. Jika faktor-faktor ini lenyap, lenyap pula peran pelindung laki-laki atau jika faktor ini berpindah pada pihak perempuan, beralih pulalah peran pelindung di atas pundak perempuan.
Unsur-unsur pembentuk faktor yang menjadikan laki-laki atau perempuan berperan sebagai pelindung adalah kekuatan fisik dan kekuatan finansial atau ekonomi. Redaksi ayat yang menyatakan “ba’dlahum ‘alaba’dlin” mengandung pengertian hubungan timbal balik, jika faktor ini beralih dari satu pihak ke pihak lain, peran perlindungan juga akan mengikuti peralihan tersebut.
Dalam konteks relasi gender kaitannya dengan hubungan kekeluargaan, Syahrur bergerak lebih jauh dengan berpandangan bahwa ketika seorang istri berhasil meniti karir yang memungkinkan penghasilannya besar dan sanggup menghidupi keluarganya, maka istri dapat menjadi pemimpin dan memegang peran sebagai ‘qawwamah’ dalam bidang ekonomi keluarga. Sementara sang suami, karena keunggulan fisiknya, ia masih menjadi pemimpin dalam hal-hal yang membutuhkan kekuatan fisik.
Secara syariat, Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja di seluruh bidang pekerjaan. Yang membatasi ruang gerak perempuan dalam dunia kerja adalah kondisi objektif dalam sejarah dan inilah yang dihadapi oleh masyarakat Islam dalam sejarahnya selama ini. Saat ini perempuan bekerja hampir di semua bidang, bahkan di Timur Tengah, mereka juga ada yang ikut berperang. Dengan kata lain, perempuan telah banyak memiliki peran sosial di ruang publik yang sama dengan laki-laki.
Dalam konteks ini, wilayah kerja perempuan dipahami sebagai hasil interaksi dengan proses perkembangan sejarah. Bukan dengan cara analogi dengan hal-hal yang ada saat ini dengan yang terjadi pada masa lalu. Karena syariat Islam tidak melarang jenis pekerjaan yang lainnya, yang membatasi ruang gerak perempuan adalah kondisi yang menyejarah. Menurut Syahrur, hanya ada dua pekerjaan yang dilarang bagi perempuan, yakni pelacuran dan telanjang.
Syahrur mengklarifikasi bahwa sebagian pihak menyatakan ada dua penghalang bagi perempuan ketika bekerja; pertama, dunia kerja meniscayakan percampuran antara laki-laki dan perempuan. Bagi Syahrur, Islam tidak melarang perempuan untuk berinteraksi dan bergaul dengan laki-laki, yang diperingatkan oleh Islam adalah berkumpulnya antara laki-laki dan perempuan tanpa ada muhrim dalam sebuah ruangan tertutup.
Kedua, terdapat sejumlah pekerjaan yang karena tingkat kesulitannya yang tinggi menjadikan perempuan sulit melakukan, seperti pekerjaan kasar di pengeboran minyak, membuatan jalan tol, penambangan batu bara dan lain sebagainya. Sebagian pekerjaan ini tidak cocok dengan sifat feminis perempuan. Kenyataan ini dapat dibenarkan, hanya saja pihak perempuan, melalui perusahaan tempat kerja, berhak menentukan sendiri sebatas apa dia melakukan pekerjaannya dan bidang apa saja yang cocok dan tidak cocok untuk dirinya.
Yang ingin Syahrur tegaskan dari kedua poin di atas adalah, bahwa perempuan diperbolehkan bekerja di ruang publik. Sekarang ini, umumnya ruang-ruang pekerjaan seperti perkantoran sudah sangat terbuka dan adanya CCTV yang selalu memonitor karyawan membuat para pekerjanya tidak bisa bergerak secara rahasia. Hal ini tentu saja, memungkinkan perempaun dapat bekerja dalam berbagai sektor selama kekuatan fisik dan pikirannya kuat. Hal-hal yang boleh dikerjakan oleh laki-laki, maka boleh juga bagi perempuan.
Terkait hak perempuan di ruang publik politik, sesungguhnya hak terlibat dalam aktivitas politik adalah hak pertama yang diberikan Islam secara langsung kepada perempuan. Dalam usahanya untuk membebaskan perempuan dari belenggu sistem patriarki, Islam mengawalinya dengan memberikan hak-hak politik ini. Perempuan memiliki hak dan kapasitas yang seimbang dengan laki-laki dalam berpolitik.
Oleh karenanya, jika peran politik hanya boleh dimainkan oleh laki-laki, seakan-akan Islam hanya agama milik kaum laki-laki, padahal antara politik dan Islam tidak bisa dipisahkan dalam sejarahnya.
Dalam konteks inilah, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki medan pertempuran dalam politik. Sehingga, perempuan-perempuan Muslim bebas memiliki aktivitas politik dan juga ikut serta dalam penetapan undang-undang.
Sebab, di ranah pemerintahan, politik memiliki gerak ganda, ada di ranah legislatif, ada pula di ranah yudikatif. Maka dari itu, jika sejarah Islam menyebutkan bahwa jarang sekali perempuan terlibat dalam aktivitas hukum, itu lebih karena pengaruh konteks yang memaksa dan membatasi ruang gerak perempuan, bukan karena syariat Islam yang menghendaki demikian. Jadi kekeliruan jika membandingkan atau menganalogikan realitas sekarang dengan realitas perempuan yang hidup pada waktu dahulu, sebab zamannya sangat berbeda.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa pandangan Syahrur tentang kesetaraan gender dalam Islam mengacu pada kesetaraan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Kedua belah pihak bisa memiliki peran yang sama dan juga bisa saling menukar satu peran kepada yang lainnya sesuai dengan konteks atau keadaan yang ada.
Rohmatul Izad. Dosen Filsafat di IAIN Ponorogo