Di dalam negara demokrasi menyampaikan pendapat di depan umum merupakan hal yang sah dan wajar. Jum’at (23/08/2019) ratusan mahasiswa, santri, dan ormas Islam menggelar aksi bela Ustaz Abdul Somad (UAS). Demo tersebut berlangsung damai dan tertib dan di pusatkan di halaman kantor Gubernur Aceh.
Bagi saya demo ini sedikit menggelitik. Sebabnya sederhana, pertama pemerintah Aceh bukanlah pihak berpekara maupun berkuasa atas kasus tersebut. Kedua, UAS baru dilaporkan bahkan pihak kepolisian belum memanggil beliau. Kalaupun nantinya dipanggil sebagai saksi atau ditetapkan sebagai tersangka, hukum tidaklah boleh diintervensi oleh siapapun.
Hal lain yang patut dicermati dari demo tersebut ialah gejala kultus individu. Pengkultusan seseorang, meskipun ia seorang Ulama akan memunculkan sikap fanatisme. Ketika fanatisme tumbuh, obejektifitas akan hilang. Ketika itu terjadi, sulit menemukan kebenaran. Dalam Islam hanya Nabi Muhammad yang maksum.
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:”Setiap bani Adam itu salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah mereka yang bertobat”. (HR al-Turmudzi, Ibn Ma jah, dan al-Hakim dan menshahihkannya).
Dalam hadist ini Nabi menerangkan setiap manusia memiliki peluang besar melakukan kesalahan, termasuk ulama sekalipun. Tidak ada dalil yang menyatakan ulama mustahil salah, entah dalam interprestasi Alquran maupun hadist. Termasuk dalam setiap fatwa yang diterbitkan.
Itulah mengapa Imam Mazhab yang tersohor tidak pernah saling menyalahkan. Mereka paham tidak ada yang lebih hebat atau unggul di antara mereka. Mereka juga tidak sepakat kultus individu. Sayidina Ali salah seorang khalifah yang paling membenci orang-orang yang mengkultuskan individu. “Ada dua golonganku, keduanya celaka: yang mengultuskan aku secara tak proporsional dan yang membenciku berlebihan”. Demikian Ali bin Abi Thalib jauh sebelum peristiwa Abdullah bin Saba yang menolak berita wafatnya khalifah keempat tersebut.
Gejala kultus yang diikuti fanatisme kini muncul dimana-mana. Demo bela UAS semoga saja bukan kultus individu. Hanya saja demo tersebut tidaklah produktif. Jika ingin membela UAS ada mekanisme hukum yang disediakan dalam negara kita.
Ada banyak isu keumatan yang bisa didemo dan didesak agar dilakukan pemerintah Aceh. Misalnya soal suap-menyuap dalam tender-tender proyek daerah, rumah fakir miskin masih banyak belum layak huni. Bahkan masih ada desa terisolir dari pembangunan di Aceh. Isu-isu begini lebih layak diperjuangkan. Serahkan kasus UAS pada hukum yang berlaku. Semua warga negara memiliki kedudukan sama di dalam hukum, tidak peduli apakah ia ulama, pendeta, biksu, bila salah menurut hukum akan diberikan sanksi.
UAS dianggap bersalah oleh pelapor, namun tidak bersalah menurut pemahaman UAS dan pendukungnya, disitulah negara yang akan menjadi pengadil. Melalui pengadilan apabila kasus berlanjut ke pengadilan, kasus itu akan diketahui siapa benar dan salah. Demo bela UAS justru akan meningkatkan tensi serta sentimen agama yang sebenarnya sudah turun.
Demo bela UAS tidaklah perlu dilakukan apalagi sampai secara nasional. Demo akan berpeluang membuka konflik horizontal maupun vertikal. Akan merugikan iklim investasi sekaligus menciptakan persoalan sosial. Kita negara hukum yang telah menyediakan mekanisme soal tersebut. Jangan terjebak fanatisme buta yang akan menjerumuskan.
Harus diingat pula bahwa demo bela UAS bukan hal yang diinginkan UAS. Dan konflik nantinya bukan hanya di kalangan umat Islam dan pelapor saja, bahkan kelompok Islam yang tidak setuju dengan UAS juga banyak. Tentu tidak elok, dan mengulangi sejarah kelam sesama Islam saling hujat menghujat bahkan bentrok fisik. Jadi ketika ada pertanyaan, pentingkah demo bela UAS? Jawabannya, masih banyak hal lain yang lebih penting.