Salah satu ulasan menarik dan mungkin sangat kontroversial dari Ibnu Arabi dalam karyanya yang berjudul Fushush al-Hikam ialah soal keimanan Fir’aun. Melalui pembacaan terhadap kisah Fir’aun dan Musa berdasarkan kepada madzhab tasawwufnya, Ibnu Arabi berpandangan bahwa Fir’aun yang dalam Alquran merupakan simbol dari puncak kekafiran, kesombongan dan pembangkangan sebenarnya ialah sosok raja yang beriman kepada Allah dan sosok hamba yang taat kepada hukum-hukum-Nya.
Untuk memahami pandangan yang kontroversial ini, kita perlu melihat sejenak konstruksi pemikiran Ibnu Arabi tentang hukum ilahi yang baginya terbagi menjadi dua: pertama, hukum semesta yang disebutnya sebagai al-amr at-takwini, al-masyi’ah al-ilahiyyah dan al-a’yan ats-tsabitah; dan kedua, hukum syariat yang disebutnya sebagai al-amr at-taklifi. Hukum semesta menurut Ibnu Arabi ialah kehendak ilahi atau pemeliharaan ilahi sendiri, yakni kondisi alami yang melekat pada komponen-komponen alam semesta sehingga berfungsi sebagaimana semestinya.
Dan karena semua yang ada di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah, maka menurut Ibnu Arabi, semua yang kita sebut sebagai kebaikan dan keburukan ialah takdir yang Allah tetapkan di alam raya ini, takdir sebagai sesuatu yang alami. Jadi ketika melakukan keburukan atau kebaikan, kita sebenarnya digerakkan oleh hukum semesta atau kehendak ilahi atau tabiat yang tercipta untuk kita dan alam semesta ini dan mau tidak mau semua makhluk harus tunduk kepada hukum semesta tersebut.
Hukum semesta ini pada tahap selanjutnya disebut Ibnu Arabi sebagai al-a’yan ats-stabitah. Konsep al-a’yan ats-tsabitah merupakan konsep yang sangat sentral sekali dalam pemikiran Ibnu Arabi. Yang dimaksud dengan konsep ini ialah gambaran-gambaran sesuatu dalam lingkup pengetahuan dan ilmu Tuhan sebelum termanifestasikan ke dalam wujud yang konkret.
Hukum semesta atau al-a’yan ats-tsabitah menurut Ibnu Arabi tidak bisa dilekati sifat kebaikan dan keburukan. Kebaikan dan keburukan itu sendiri sebenarnya tidak ada wujud nyatanya di alam semesta ini, dan kata Ibnu Arabi kita tidak bisa melekatkan dua sifat ini kepada onthos atau wujud. Kendati demikian, sesuatu itu bisa dianggap baik dan buruk berangkat dari prinsip lain, yang disebut Ibnu Arabi sebagai al-amr at-taklifi, atau sebut saja hukum syariat.
Lebih jauh lagi, ketika melakukan kejahatan, manusia sebenarnya hanya merespon secara alami tabiat yang digerakkan oleh al-a’yan ats-tsabitah atau hukum semesta. Pada tahap selanjutnya respon atau ketundukan terhadap hukum semesta ini kemudian oleh Ibnu Arabi disebut sebagai qada dan qadar.
Qada menurut Ibnu Arabi ialah ketetapan Allah terhadap semesta ini sebelum ia diciptakan sedangkan qadar ialah terjadinya ketetapan Allah bagi ciptaannya berdasarkan kepada hukum semesta. Jadi jika dilihat dari perspektif hukum semesta (al-amr at-takwini, al-masyiah al-ilahiyyah, al-a’yan ats-tsabitah), ketika manusia melakukan kejahatan sebenarnya ia tidak sedang melakukan tindak kejahatan karena suatu tindakan disebut kejahatan ketika perspektif hukum syariat yang digunakan.
Secara lebih ringkasnya, tindak kejahatan (asy-syarr) dalam kerangka pemikiran Ibnu Arabi merupakan bentuk ketundukan dan ketaatan terhadap hukum semesta (al-amr at-takwini) yang sekaligus juga bentuk pembangkangan terhadap hukum syariat (al-amr at-taklifi) (fa waqtan yusamma bihi mukhalafatan li amrilah wa waqtan yusamma muwafaqatan wa ta’atan li amrillah).. Dan karena hukum semesta terjadi lebih dulu dibanding hukum syariat, tentu semua ketetapan agama, kata Ibnu Arabi, harus mengikut pada kehendak semesta itu sendiri.
Pandangan Ibnu Arabi ini berimplikasi kepada persoalan lain, yakni soal bahwa manusia (baik yang melakukan kebaikan maupun yang melakukan keburukan) secara keseluruhan sebenarnya berjalan di atas petunjuk dan hidayah ilahi. Hal demikian karena pada dasarnya mereka secara alami tunduk kepada hukum semesta (masyi’ah ilahiyyah) dan itu artinya tunduk kepada Allah. Pandangan Ibnu Arabi ini berimplikasi kepada persoalan yang cukup serius, yakni persoalan mengenai tidak adanya siksaan dan pembalasan bagi yang melakukan kejahatan dan pembangkangan terhadap hukum agama atau moral.
Dengan demikian, kemaksiatan – seperti juga ketaatan – merupakan istilah-istilah agama yang dapat dilekatkan kepada semua tindakan manusia. Kendati demikian, bagi Ibnu Arabi maksiat pada hakikatnya tidak berimplikasi kepada siksaan karena rahmat Allah meliputi segala sesuatu.
Berangkat dari kerangka ini, Ibnu Arabi melihat bahwa kekafiran, kesombongan dan pembangkangan yang dilakukan Fir’aun sebenarnya tidak lain merupakan bentuk ketundukan terhadap hukum semesta atau al-amr at-takwini atau kehendak ilahi. Sedangkan di saat yang sama, Fir’aun membangkang dan memilih untuk tidak tunduk kepada hukum syariat atau al-amr at-taklifi.
Jadi yang dilakukan Fir’aun dalam pandangan Ibnu Arabi ialah ketaatan dalam bentuk kemaksiatan dan jalan kebenaran dalam bentuk kesesatan.Berdasarkan kerangka ini, keimanan Fir’aun mendapat justifikasinya dalam pandangan Ibnu Arabi.Untuk mempertegas justifikasi Ibnu Arabi terhadap keimanan Fir’aun ini, ada baiknya kita kutipkan langsung dari kitab Fushus al-Hikam:
….وكان قرة عين لفرعون بالإيمان الذي أعطاه الله عند الغرق فقبضه طاهرا مطهرا وليس فيه شيئ من الخبث، لأنه قبضه عند إيمانه قبل أن يكتسب شيئا من الآثام…
“Dan Musa merupakan penyejuk mata bagi Fir’aun karena keimanan yang Allah karuniakan kepadanya ketika ditenggelamkan di tengah lautan. Lalu Allah pun mewafatkan Fir’aun dalam kondisi ruhnya yang suci dan bersih dan tidak berdosa sedikitpun. Hal demikian karena kematian Fir’aun terjadi setelah ia beriman dan pasca beriman ia belum pernah melakukan dosa dan kejahatan.”
Sampai di sini kita melihat Ibnu Arabi telah melangkah lebih jauh dari yang kita bayangkan. Ibnu Arabi menegaskan keimanan Fir’aun dan kesuciannya dari dosa-dosa. Pertanyaan yang mungkin muncul berdasarkan kepada kerangka al-amr at-takwini dan al-amr at-taklifi yang dikenalkan oleh Ibnu Arabi ini, apakah Iblis juga beriman dan karenanya, akan masuk surga sama seperti Fir’aun?
Jika kita mengikuti kerangka ini, jelas jawabannya sama: karena yang dilakukan Iblis ialah ketaatan dalam bentuk pembangkangan, yakni, ketundukan kepada al-amr at-takwini dan pembangkangan terhadap al-amr at-taklifi dan karena datang lebih akhir setelah al-amr at-takwini, al-amr at-taklifi tetap harus tunduk kepada al-amr at-takwini. Ibnu Arabi dalam Fushush al-Hikam kemudian menegaskan bahwa semua manusia yang baik maupun yang jahat pada akhirnya akan masuk surga juga:
ولما كان الأمر في نفسه على ما قررناه لذلك كان مآل الخلق إلى السعادة على اختلاف أنواعها، فعبر عن هذا المقام بأن الرحمة وسعت كل شيئ وأنها سبقت الغضب الإلهي
“Berdasarkan pada hukum ini (yakni al-amr at-takwini dan al-amr at-taklifi yang dijelaskan di atas), ujung takdir semua manusia pada akhirnya akan menuju kepada kebahagiaan (masuk surga) meski berbeda-beda tergantung tingkatannya. Pandangan ini bisa diperkuat lagi karena kasih sayang Allah meliputi segala sesuatu dan kasih sayang-Nya mendahului kemurkaan-Nya. ”
2Sekali lagi, pandangan Ibnu Arabi ini sangatlah kontroversial, dan mungkin akan melabrak sendi-sendi pemahaman dan keimanan kita. Sejauh penelusuran terhadap karya-karya Syiah Ismai’iliyyah (Ikhwan as-Shofa misalnya dalam ar-Risalah al-Jami’ah) yang menurut sebagiah ahli menjadi rujukan Fushush al-Hikam dan al-Futuhat al-Makkiyyah, kita lihat bahwa pandangan Ibnu Arabi sebenarnya sudah terlampau berani. Ala kulli hal, Allahu A’lam.