Tidak sedikit yang salah kaprah memaknai secara komprehensif “ada apa” dan “kenapa” dengan kurban. Sebahagian orang secara slapstick menyebut hari ini sebagai hari pembunuhan hewan secara masif. Dengan logika simplistis sebahagian lagi menyebutnya sebagai pameran atau syiar radikalisme yang dipertontonkan secara kolosal. Belum lagi kesan dari mereka yang terindikasi masih menyisakan fobia terhadap Islam, mungkin menyebut ritus kurban sebagai kekerasan yang berbingkai agama.
Stigma negatif semacam itu wajar terjadi karena kurban yang semula sebagai ikonik ibadah simbolik (‘ibadah ramziyah) namun dipaksatafsirkan secara leterlek. Sampai disini sekurangnya ada dua problem utama keberagamaan kita hari ini. Pertama kita gagal menggali nilai sebuah ritus dan yang kedua kita tak mampu mengaktualisasikannya dalam kondisi yang paling mutakhir.
Hewan sembelihan adalah salah satu simbol kunci dalam ritual kurban. Dan nama hewan acapkali dipinjam untuk mengecam kelakuan manusia. Misal, istilah politik dagang sapi disebut untuk mencela politisi busuk yang hobi bagi-bagi kursi. Pria-wanita yang intim tanpa ikatan pernikahan disebut kumpul kebo, perilaku culas menyalahkan orang lain disebut kambing hitam, menjajah hak orang lain disebut sapi perah, perilaku dengan tujuan memecah belah disebut adu domba. Bahkan tak ketinggalan yang teranyar adalah cebong dan kampret, dua hewan yang mendadak masyhur karena diasosikan untuk mengecam fanatisme berlebihan dari pendukung masing-masing paslon di pilpres 2019.
Walhasil inilah satu pesan dari simbol kurban. Bahwa kita tidak hanya diperintahkan menyembelih hewan yang ada diluar diri, tapi juga dilatih untuk menyembelih hegemoni nafsu hewaniah yang bersarang dari dalam diri.
Pertanyaannya seperti apa nafsu hewaniah yang dimaksud? Menarik ulasan dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H) dalam Sirrul Asrar. Menurut al-Jailani, untuk memperoleh cinta Allah, seseorang harus menyembelih dua sifat hewaniah dalam dirinya. Pertama, al-bahimiyyah, sifat binatang ternak seperti; banyak bicara (katsratul kalam), senda gurau yang melalaikan (al-mizah), makan dan tidur yang berlebihan (ziyaadah al-akl wa an-nawm) . Dan yang kedua adalah as-sabu’iyyah, sifat-sifat binatang buas seperti; amarah (ghadhab), dendam (hiqd), congkak (‘ujb), besar mulut (tafakhur) dan sebagainya.
Terakhir, jika merujuk dalam (QS. 22:37) kita menemukan pesan bahwa yang sampai kepada Allah bukanlah darah dan daging hewan melainkan ketakwaan seseorang, maka dengan perspektif tafsir simbolik kita bisa berkata, “Bagaimana mungkin hewan yang dikurbankan sampai menuju Allah, sementara dalam perjalanannya ia masih dijagal oleh hewan-hewan yang lebih buas dalam diri kita.”