Di masa mudanya, Ibn Arabi pernah tinggal di Sevilla, di semenanjung Andalusia. Sevilla bukan Murcia, kota kecil di kawasan perkebunan anggur dan zaitun, tempat tinggalnya di masa kanak-kanak, yang sepi, tertutup, dan tenang. Sevilla, adalah kota besar di zamannya, semarak, terbuka, dan ramai. Di kota itulah keluarga-keluarga Arab terkemuka — para migran kaya dari Syria dan Yaman yang menguasai pemerintahan — bergaul dengan orang-orang Barbar kelas bawah dari Afrika Utara, orang-orang Kristen dan Yahudi. Di Sevilla kaum aulia bergaul dengan penyair dan musikus. Para ahli hukum, qadi, bercengkerama dengan rakyat biasa. Di tepi sungai Guadalquivir, pusat perdagangan yang menjadi pasar hasil pertanian Andalusia, tradisi pertukaran komunikatif antar-golongan dan antar-kelas berlangsung dinamis.
Abu Yusuf Ya’qub, gubernur Sevilla, membangun kota itu dengan merestorasi irigasi peninggalan Rowawi. Itu yang membuat Sevilla mencapai kemakmurannya. Sevilla menjadi “bunga yang merekah” di Eropa pada abad ke-12, di bawah pemerintahan sebuah dinasti Islam. Selain Cordoba, Sevilla adalah pusat kejayaan peradaban Muslim di masa lalu. Abu Yusuf terus mendorong para ilmuwan Muslim menerjemahkan karya-karya klasik Yunani. Dalam diskursus filsafat, Sevilla bahkan menjadi ibukota Neoplatonisme.
Kemakmuran Sevilla menciptakan kombinasi antara kesuksesan duniawi dan asketisme ukhrawi, antara kesenangan dan kasalehan, antara kemajuan kebudayaan dan pendalaman spiritualitas. Citarasa religius yang dibentuk oleh alam kering padang gersang jazirah Arab terantuk oleh pesona pegunungan hijau yang sejuk di kawasan Iberia yang penuh tradisi pesta.
Ibn Arabi melewati masa mudanya dalam suasana penuh dialektik itu. Sebagai anak pejabat tinggi dalam pemerintahan Sevilla, Ibn Arabi memiliki hampir semua fasilitas untuk menikmati kemajuan peradaban kota. Ia tetap dibimbing oleh guru-guru agama yang berpikiran maju. Tapi ia juga suka begadang sampai subuh untuk menikmati musik dan puisi. Sampai suatu saat ia bermimpi didatangi Yesus, Musa, dan Muhammad. Sejak itulah ia menempuh suluk, dan menjadi seorang salik, pejalan spiritual, pada usia yang masih sangat muda. Jalan yang ditempuh Ibn Arabi adalah konvensional seorang salik. Ia memulianya dengan cara ubudiyyah — mengamalkan ibadah — untuk membuka diri ke tingkat rububiyyah — pengheningan diri untuk masuk ke dalam dunia pembatinan illahiat.
Seperti Buddha, ia lalu meninggalkan istana. Ia menyerahkan kembali harta milik yang menjadi hak warisannya kepada ayahnya. Ia pergi untuk berguru kepada belasan guru terkemuka, dan belajar mendalami berbagai mazhab sufi yang sudah berkembang ketika itu — Almeira, Al-Massarah, dan Al-Maghribi.
Claude Addas, penulis birografi spiritual Ibn Arabi, memaparkan berbagai cerita mengenai pengalaman rohaniah sufi muda yang pernah membuat Ibn Rusyd (Averoes) dari Cordoba itu kagum, sangat kagum. Dalam penjelasan Addas, Ibn Arabi ternyata juga pernah didatangi Nabi Khaidir, penasihat misterius Nabi Musa, yang memang diyakini tidak akan pernah wafat hingga akhir zaman. Inilah bagian sangat menarik dari biografi itu. Seperti Nabi Idris — atau yang dalam Alkitab disebut Nabi Enoch — Khaidir dikenal sebagai utusan-utusan khusus untuk para penempuh jalan spiritual dalam tradisi tiga agama Abrahamik — Yahudi, Kristen, dan Islam.