Ungkapan “Tuntulah ilmu sampai ke negeri Cina” sudah sangat akrab di telinga semua orang. Para da’i, motivator, hingga guru sering menggunakan ungkapan ini untuk menekankan pentingnya menuntut ilmu. Beberapa di antaranya menyebut jika ungkapan ini merupakan penggalan dari hadis Nabi. Lantas, apakah memang demikian?
Kyai Ali Mustafa Yaqub (Alm) yang pernah menjabat sebagai imam besar masjid Istiqlal, dalam bukunya berjudul Hadis-hadis Bermasalah (2003) memberikan catatan menarik terkait hal ini. Menurutnya, banyak hadis palsu yang terlanjur populer di masyarakat dan digunakan dalam berbagai kegiatan dakwah oleh para penceramah yang kurang peka.
Hadis-hadis tersebut bahkan menjadi dasar amaliah ibadah mereka yang kurang jeli dan tidak memperhatikan keotentikan suatu hadis. Padahal, beberapa kalangan umat Islam seringkali mempertanyakan keotentikan hadis ketika berdebat mengenai sebuah dalil.
Secara keseluruhan, terdapat 33 hadis yang menurut beliau bermasalah baik dari sisi sanad maupun matannya sebagaimana termuat dalam buku Hadis-hadis Bermasalah (2003). Hadis-hadis tersebut bahkan tergolong lemah (dha’if) dan palsu (maudhu’). “Tuntulah ilmu meskipun di negeri Cina” merupakan satu dari 33 hadis yang dibahas dalam buku tersebut.
Redaksi lengkap hadis dimaksud ialah “Uthlub al-‘ilma walaw bi as-shini fa inna thalaba al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin” yang artinya “Tuntulah ilmu meskipun di negeri Cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.”
Sebelum mengurai kritik hadis ini, Prof. Ali Mutafa Yaqub memulai uraian dengan cerita seorang mahasiswa yang ditanya oleh masyarakat tentang siapakah yang meriwayatkan hadis tersebut, dan mengapa hadis tersebut menyebut Cina, bukan Eropa yang kini dianggap lebih maju.
Dari sini, terdapat dua pokok masalah yang penting untuk dijawab. Pertama, berkaitan dengan transmisi periwayatannya, yang artinya menyangkut kririk sanad. Kedua, menyangkut disebutnya “Cina” dan bukan Eropa, yang artinya menyangkut materi atau substansi hadis.
Dalam penelusuran Prof. Ali Mustafa Yaqub, hadis “Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina” diriwayatkan oleh beberapa periwayat, antara lain: Ibn ‘Ady (w. 356 H) dalam al-Kamil fi al-Dhu’afa al-Rijal, Abu Nu’aim (w. 430 H) dalam Akhbar Ashbihan, al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam Tarikh Baghdad dan al-Rihlah fi Thalab al-Hadits, Ibn Hibban (w. 254 H) dalam al-Majruhin, dan lain-lain. Mereka semua menerima hadis dari: al-Hasan bin ‘Atiyah, dari Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman, dan dari Anas bin Malik, (dari Nabi Saw.).
Dari beberapa keterangan yang berhasil dihimpun, didapat kesimpulan bahwa hadis ini berstatus palsu (maudhu’). Faktor yang menyebabkan hadis ini palsu karena dalam rangkaian sanad terdapat nama Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman, yang dikenal oleh para ulama hadis tidak mempunyai kredibilitas sebagai periwayat hadis dan suka memalsukan hadis.
Al-‘Uqaili, al-Bukhari, al-Nasa’i, dan Abu Hatim, sepakat bahwa Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman merupakan orang yang tidak dapat dipercaya. Sementara dari segi materi hadis, baik Ibn Hibban maupun Ahmad bin Hanbal sama-sama menentang keras keberadaan sabda Nabi semacam ini. Ibn Hibban bahkan mengatakan bahwa hadis tersebut adalah hadis bathil la ashla lahu (batil, palsu, tidak ada dasarnya).
Mengenai hadis tersebut, ada tiga jalur lain (sanad), sebagai berikut:
Jalur pertama, Ahmad bin ‘Abdillah, dari – Maslamah bin al-Qasim, dari – Yaqub bin Ishaq bin Ibrahim al-‘Asqalani, dari – ‘Ubaidillah bin Muhammad al-Firyabi, dari – Sufyan bin ‘Uyainah, dari – al-Zuhri, dari – Anas bin Malik, dari – (Nabi Saw). Hadis dengan riwayat/ sanad ini diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imam.
Jalur kedua, Ibn Karram, dari – Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari, dari – al-Fadhl bin Musa, dari – Muhammad bin ‘Amr, dari – Abu Salamah, dari – Abu Hurairah, dari – (Nabi Saw). Hadis dengan sanad ini diriwayatkan oleh Ibn Karram, dan tercantum dalam al-Mizan karya al-Dzahabi.
Jalur ketiga, Ibn Hajar al-‘Asqalani, dari – Ibrahim al-Nakha’i, dari – Anas bin Malik.
Hadis dengan sanad ini diriwayatkan sendiri oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan dicantumkan dalam karyanya sendiri, Lisan al-Mizan.
Keberadaan ketiga jalur sanad ini tetap saja tidak merubah status hadis tersebut. Adapun penyebabnya adalah: di sanad pertama, tercantum nama Yaqub bin Ishaq bin Ibrahim al-‘Asqalani, yang dinilai oleh al-Dzahabi sebagai al-Kadzdzab (pendusta besar).
Di sanad kedua, tercantum nama Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari, yang termasuk sebagai pemalsu hadis. Sedang pada sanad ketiga, sesuai keterangan Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa Ibrahim al-Nakha’i sesungguhnya tidak pernah mendengar apapun dari Anas bin Malik.
Secara umum, apabila terdapat sebuah hadis dhaif yang didukung oleh riwayat lain yang dhaif juga, maka statusnya bisa meningkat menjadi minimal hasan li ghairihi. Namun sayangnya, dalam kasus hadis “carilah ilmu meskipun ke negeri Cina” kasusnya berbeda karena tidak ada satupun dari keempat jalur hadis yang ada mempunyai status atau kualitas dhaif sekalipun.
Prof. Ali Mustafa Yaqub berkesimpulan bahwa ungkapan “tuntulah ilmu sampai ke negeri Cina” tidak boleh lagi disebut sebagai hadis, meskipun kalangan masyarakat awam menganggapnya sebagai hadis. Paling bagus, ungkapan itu hanyalah sebuah kata-kata mutiara.
Boleh jadi, karena begitu cepatnya kata mutiara ini menyebar, lama-kelamaan hal ini dianggap hadis, apalagi masyarakat mengetahui bahwa memang sudah sejak dulu masyarakat Cina terkenal mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Kepalsuan hadis “tuntulah ilmu sampai ke negeri Cina” terdapat dalam redaksi lengkapnya yang berbunyi: “Uthlub al-‘ilma walaw bi as-shini fa inna thalaba al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin.” Redaksi ini, sebenarnya bisa dipenggal menjadi dua kalimat: “uthlub al-‘ilma walaw bi as-shini”; dan “thalaba al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin.”
Penyebab kepalsuan hadis ini adalah penggalan kalimat pertama. Sedangkan penggalan kedua, jika ia berdiri sendiri, lalu disampaikan kepada umat, maka itu mempunyai status shahih. Jadi, jika ada orang mengatakan bahwa ia membaca, menyampaikan, atau mendapat hadis, yang artinya berbunyi: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim,” maka hadis itu statusnya adalah hadis sahih.
Sebab, hadis itu memang berasal dari Nabi Saw.yang antara lain, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imam, oleh al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Shagir dan al-Mu’jam al-Awsath, dan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad.
Wallahu a’lam.