Sempat shock saat melihat berita-berita di stasiun televisi dan di banyak media online yang mengabarkan bahwa provinsi NAD akan memberlakukan Perda poligami.
Namun keterkejutan itu berubah menjadi rasa syukur saat menyadari bahwa saya bukan bagian dari warga NAD. Minimal ada jalan berliku bagi suami jika berniat poligami karena provinsi tempat saya tinggal tidak menerapkan qanun.
Sebagai perempuan muslim saya seringkali terusik dan geli saat mendengar kata poligami. Jelas yang terlintas pada pikiran yang pertama kali adalah penderitaan psikologis. Oleh karenanya saya memberikan respek setinggi-tingginya kepada saudara muslimah yang bisa menerima suaminya berpoligami.
Entah dengan cara apa mereka menata hatinya, saya hanya berbaik sangka bahwa mereka memang para pejuang surga, tentu saja dalam terminologi mereka sendiri.
Seorang Aisyah saja diriwayatkan memiliki rasa cemburu yang besar kepada istri-istri Rasulullah sehingga bersiasat supaya Rasulullah lebih betah tinggal bersamanya ketimbang dengan istri beliau yang lain. Seorang sayyidah dengan level tauhid mumpuni saja masih memiliki kecemburuan besar, apalagi kita yang masih suka intip-intip Lambe Turah.
Tambah sedih rasanya saat tahu bahwa alasan yang melatarbelakangi lahirnya Perda ini adalah karena banyaknya kasus perceraian yang diakibatkan oleh pernikahan siri yang berdampak pada banyaknya janda di NAD. Sehingga untuk menghindari perzinaan oleh para janda ini maka dicetuskan ide Perda poligami ini.
Menyakitkan sekali, alih-alih melindungi, alasan banyaknya janda berbanding lurus dengan maraknya perzinaan malah secara brutal menempatkan posisi perempuan pada level terendah.
Al-Qur’an [ QS: 4:3 ] secara gamblang sudah menegaskan,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dan pada surat yang sama [ QS: 4:129 ] syarat bagi terpenuhinya poligami lebih dipertegas lagi
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Prof.Dr.Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menguraikan bahwa bangsa yang menjalankan poligami yaitu Arab jahiliyah dan beberapa bangsa-bangsa di Eropa. Di kalangan masyarakat Arab budaya laki-laki boleh menikahi sejumlah perempuan yang diinginkannya tanpa adanya ikatan ataupun syarat. Namun setelah lahirnya Islam dasar dan syariat poligami telah diatur sedemikian rupa sehingga dengan jelas laki-laki hanya boleh menikahi empat orang saja dan harus bisa berlaku adil.
Lebih jauh beliau menjelaskan, poligami bukan wajib dan bukan sunnah. Tetapi poligami bisa dikatakan wajib dalam pandangan Islam karena dengan tujuan kemaslahatan dan poligami bisa dikatakan sunnah karena dapat memenuhi kewajibannya saja.
Diperbolehkannya poligami karena terbatas pada masalah yang sudah tidak ada lagi jalan keluarnya. Bila seorang laki-laki takut berbuat zalim dan tidak bisa memenuhi kewajibannya maka haram hukumnya untuk berpoligami atau menikahi perempuan lebih dari satu.
Sepertinya tanpa perdebatan panjang sudah sangat jelas bahwa Allah SWT melalui Firmannya menegaskan tentang kemustahilan bagi para suami untuk bisa berbuat adil kepada istri-istrinya. Dan syarat ketat poligami yang harus dipenuhi bukan hanya oleh pelaku tapi juga kondisi kultur budaya serta lingkungan sosial setempat.
Fakta bahwa tidak sedikit rumah tangga yang berantakan karena poligami juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Alih-alih membawa maslahat poligami malah mendekatkan kepada mudharat. Sebuah kaidah fiqih menjelaskan,
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”.
Usulan agar kepala daerah di provinsi NAD beristri lebih dari satu orang semakin memicu kontroversi ditengah maraknya kepala daerah yang terkena OTT KPK karena kasus korupsi. Tak kurang gubernur NAD pun akhirnya mendekam di tahanan dalam kasus ini.
Walaupun perlu analisa lebih jauh tapi perilaku poligami di kalangan pejabat akan semakin mendekatkan mereka kepada tindakan koruptif. Mengingat beban biaya yang harus dikeluarkan oleh pejabat tersebut pastinya akan lebih besar ketika harus menghidupi lebih dari satu keluarga.
Bagaimana pula jika masa jabatannya sudah selesai yang otomatis berdampak pada menurunnya pendapatan, apakah harus menceraikan lagi istri-istrinya? Analisa sederhana ini membuktikan bahwa poligami bukanlah jalan terbaik menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Kita tunggu bersama hasilnya, kabarnya bulan Agustus ini akan dilakukan dengar pendapat di DPRD terkait rancangan Perda tersebut. Akan diundang juga beberapa LSM penggiat isu gender dan para aktivis perempuan.
Alangkah baiknya jika rancangan Perda ini dapat ditinjau kembali mengingat negara kita sudah memiliki UU Perkawinan yang juga mengakomodir syariat dalam Islam termasuk isu poligami. Jangan sampai perda yang bersifat lokal bertabrakan dengan aturan yang lebih tinggi.
Sebagai warganegara yang baik, wajib hukumnya bagi kita untuk tunduk dan taat pada peraturan perundangan yang berlaku. Demikian juga sebagai seorang muslim tentu saja haram bagi kita untuk menentang hukum-hukum yang sudah ditetapkan dalam kita suci Al-Qur’an.
Masalahnya kemudian banyak yang menyalahgunakan hukum dalam Al-Qur’an untuk kepentingan tertentu. Ayat-ayat yang diturunkan untuk mengantisipasi kondisi tertentu diterjemahkan sebagai legalitas untuk melakukan tindakan yang secara kontekstual sebenarnya jauh dari tujuan awal diturunkannya ayat tersebut.
Dalam konteks nabi berpoligami juga sebenarnya sudah jelas maksud dan tujuannya. Apalagi kita ketahui bersama beliau melakukan poligami sepeninggal Khadijah, istri pertama beliau yang meninggal di usia perkawinan yang ke – 28. Sebagai orang yang ma’shum tentulah beliau terjaga dari perbuatan tercela termasuk terjaga dari berbuat tidak adil kepada istri-istri beliau.
Memang harus pandai dalam berislam mengingat jarak waktu yang cukup jauh dengan panutan kita Rasulullah SAW, semua harus disikapi dengan penuh kehati-hatian, tidak grusa-grusu, apalagi jika sudah menyangkut masalah kemaslahatan umat.
Namun bila kita cerdas dalam membaca kondisi zaman saat ini sebenarnya banyak sekali ulama dan guru bangsa yang bisa kita teladani ahlak dan pekertinya. Buya Ahmad Syafi’i Maarif, Gus Dur, Gus Mus, dan Abi Quraish Shihab contohnya. Sependek pengetahuan saya tidak ada satupun dari ulama-ulama diatas yang melakukan praktek poligami, bukankah mereka juga “ulama warosatul anbiya” ?
Sebagai penutup saya hanya berpesan janganlah berpikir untuk poligami jika saat menyimpan kontak telepon di ponsel, kita masih mengganti nama dari yang seharusnya Rini menjadi Bambang.
Wallahu a’lam.