Dalam salah satu ayat Al-Quran dijelaskan bahwa Allah SWT itu istawâ ‘alâ al-Arsy. (QS 20: 5). Al-Quran terjemahan Kemenag mengartikan kata istawâ dengan bersemayam. Dan bersemayam itu sendiri, kalau kita merujuk pada KBBI, bermakna duduk. Ujung-ujungnya, dengan mengacu pada ayat tersebut, sebagian kalangan dari umat Islam ada berkeyakinan bahwa Tuhan itu duduk di atas ‘Arsy. Hanya saja, kata mereka, duduknya Tuhan tidak seperti duduknya kita.
Tapi benarkah Tuhan duduk dan bersemayam di atas ‘Arsy? Jika pertanyaan ini diajukan kepada kaum Salafi-Wahabi, mereka akan cepat-cepat berkata iya. Bagi mereka, tidak ada problem dengan keyakinan itu. Apalagi, bunyi terjemahan yang populer mengamini keyakinan itu secara sarih. Tapi ceritanya akan berbeda kalau pertanyaan ini diajukan kepada seorang Sunni yang bermazhab Asy’ari. Jika pertanyaan ini diajukan kepada mereka, mazhab yang dianut oleh mayoritas umat Muslim ini akan memberikan dua pilihan.
Pertama, Anda harus percaya bahwa Tuhan itu istawâ ‘ala al-Arsy, persis seperti bunyi ayat yang Anda baca, tanpa harus sibuk berurusan dengan penentuan makna. Artinya, Anda percaya dengan redaksi ayat itu—dan ayat-ayat serupa—sebagaimana adanya. Tapi kalau Anda ditanya apa maknanya? Pilihan pertama menuntun Anda untuk berkata tidak tahu. Kata tersebut pasti memiliki makna. Tapi maknanya hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas dia bukan duduk, seperti halnya duduk manusia. Pilihan pertama ini, dalam mazhab Asy’ari, dikenal dengan mazhab tafwîdh.
Hal yang sama berlaku ketika kita berjumpa dengan ayat-ayat mutasyâbihât serupa lainnya. Seperti ayat, atau hadits, yang mengisahkan Tuhan memiliki tangan, jari, mata, kaki dan lain sebagainya. Makna zahir dari ayat dan hadits-hadits semacam itu kita nafikan—karena itu akan berkonsekuensi pada tajsîm (meyakini Tuhan sebagai jism/jasad). Sementara makna hakikinya kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Karena itu mazhab ini disebut dengan mazhab tafwîdh, yang secara harfiah bermakna “mazhab “penyerahan”.
Kedua, kaidah bahasa Arab membolehkan adanya takwil. Dan tradisi bertakwil itu sendiri sebenarnya sudah dikenal sejak generasi salafus saleh. Beberapa kalangan dari sahabat juga ada yang mentakwil ayat-ayat semacam itu. Untuk membuktikan hal tersebut, Prof. Dr. Rabi Gauhari, seorang Guru Besar Ilmu Kalam dari Universitas al-Azhar, menulis satu buku khusus yang berjudul Ta’wîl al-Salaf li Shifâtillah (Takwil Generasi Salaf atas Sifat-sifat Allah).
Tulisan pendek ini tak akan cukup untuk merekam isi buku tersebut. Yang jelas, melalui buku itu, dengan sejumlah riwayat yang dikutipnya, ia ingin menegaskan apa yang penulis sampaikan tadi. Bahwa takwil itu sudah dikenal sejak zaman salafussaleh. Dan karena itu dia bukan bukan bid’ah, seperti yang diduga oleh kaum Salafi-Wahabi. Para sahabat dan ulama salaf sudah melakukan itu. Karena itu mazhab ini juga termasuk mazhab Ahlussunnah yang sah.
Jika mazhab pertama disebut sebagai mazhab tafwîdh, maka mazhab kedua ini disebut dengan mazhab ta’wîl/muawwil. Dan kedua-duanya, sekali lagi, adalah mazhab Ahlussunnah yang sah. Berbeda halnya dengan Ibnu Taimiyyah, yang menolak kedua pilihan itu sekaligus.
Lalu di mana posisi al-Ghazali? Sebagai salah satu eksponen utama dalam mazhab Asy’ari, sekelas al-Ghazali tentu tidak mungkin memaknai ayat tersebut dengan duduk dan menetap, seperti yang diyakini oleh kaum Salafi-Wahabi.
Dalam kitab al-Iqtishâd fi al-‘Itiqâd, al-Ghazali menerangkan bahwa jika kita memaknai kata tersebut dengan menetap/duduk (al-Istiqrâr), maka kita dihadapkan dengan dua kemungkinan. Pertama, Tuhan menetap karena dirinya sendiri—tidak melalui perantara sesuatu yang lain, dan ketika itu dia menjadi substansi (jauhar). Kedua, Tuhan menetap karena sesuatu yang lain, dan ketika itu dia menjadi aksiden (‘aradh). Dan kedua-duanya mustahil.
Karena Tuhan bukan termasuk substansi, apalagi tergolong kedalam aksiden. Mengapa bisa begitu? Alasan sederhananya, substansi itu senantitasa disertai oleh aksiden. Dan setiap aksiden itu hadîts (ada dari ketiadaan, karena dia senantiasa berubah-ubah). Segala sesuatu yang disertai oleh sesuatu yang hâdits maka dia juga hâdits. Karena itu, kalau kita menyebut Tuhan sebagai substansi, konsekuensi akhirnya kita akan meyakini Tuhan sebagai sesuatu yang hâdits (ada dari ketiadaan). Dan itu mustahil. Ini argumen pertama.
Kedua, jika kita memaknai istawâ itu dengan menetap/duduk, maka—kata al-Ghazali—kita akan dihadapkan dengan tiga kemungkinan. Pertama, Tuhan lebih besar dari ‘Arsy. Kedua, Tuhan setara dengan ‘Arsy. Ketiga, Tuhan lebih kecil dari ‘Arsy. Singkat kata, kalau Tuhan menetap di sana, maka Tuhan akan menjadi sesuatu yang terukur. Dan sesuatu yang terukur itu disebut sebagai jism.
Artinya, keyakinan bahwa Tuhan duduk di atas ‘Arsy itu akan berkonsekuensi pada keyakinan bahwa Tuhan itu adalah jism. Kalau kita meyakini Tuhan sebagai jism, itu artinya kita berada satu baris dengan kelompok mujassimah (kaum antropomorfis), yang menyerupakan Tuhan dengan manusia. Dan mereka bukan bagian dari Ahlussunnah.
Ketiga, jika Tuhan menetap di atas ‘Arsy, maka ‘Arsy bisa membatasi Tuhan dari semua arah. Jika ‘Arsy membatasi Tuhan dari semua arah, maka ketika itu ‘Arsy memuat Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan menjadi sesuatu yang dimuat oleh ‘Arsy. Bisakah kita menerima keyakinan dangkal seperti ini? Keyakinan yang menyatakan bahwa Dzat yang Mahakuasa itu dimuat oleh makhluk-Nya sendiri? Sangat sulit untuk berkata iya. Karena itu, al-Ghazali menolak keyakinan tersebut.
Pandangan al-Ghazali, dalam masalah ini, tidak jauh berbeda dengan mazhab mayoritas umat Muslim yang lain, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak duduk, baik di atas, di bawah, di tengah, di kanan, di kiri, maupun arah-arah yang lain dari bagian ‘Arsy. Dia tidak dimuat oleh makhluk-Nya, Karena Dia bukan jauhar (substansi), jism (substansi material yang tersusun) apalagi ‘aradh (aksiden).
Sebagian ulama lain ada yang menakwil kata istawâ dalam ayat tersebut dengan menguasai (istawla). Dengan demikian, ketika dikatakan bahwa Tuhan itu istawâ ‘ala al-‘Arsy, ayat tersebut bermakna bahwa Dia menguasai ‘Arsy, bukan duduk, menetap, dan bersemayam di atas ‘Arsy. Demikian,
Wallâhu ‘alam bisshawâb.