Setelah mendengar dan mengikuti berita tentang Ridwan Kamil dan Ustadz Rahmat Baequni soal simbol illuminati di Masjid Al Safar, saya jadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh siapa sosok Ustadz Rahmat Baequni dan apa saja isi ceramahnya. Saya cek instagramnya dan memang memiliki banyak followers, beliau mempunyai banyak jemaat.
Tentu saja, fenomena seperti ini miris memang sebab sekarang ini gampang sekali melabeli ustadz/ulama kepada seseorang; cukup berjenggot, memakai kopiah atau kerudung, lalu piawai memainkan kata bisa langsung dikatakan ustadz/ulama. Kita melupakan pengertian ulama menurut Al-Quran surat Surat Fathir ayat 28,“Hanya saja yang takut kepada Allah dari sekian hamba-Nya adalah ulama”
Ayat tersebut tidak memberikan keterangan apa pun perihal kriteria ulama, namun kriteria ulama diperjelas oleh ulama tafsir Al-Quran seperti Al-Qasimi. Ulama adalah mereka yang takut kepada Allah meskipun tidak melihat-Nya. Rasa takut yang dimaksud di sini adalah sebentuk perasaan tunduk dan menyerah ketika membayangkan keagungan Allah dan melalui pengalaman batin secara sadar.
Selain itu, menurut Ulama yang saya kagumi, KH. Marzuki Mustamar, ulama itu harus paham Al-Quran dan Sunnah. Cara memahaminya tidak sembarangan, harus ada sanad keilmuan yang jelas dan menggunakan piranti tertentu yang diwariskan Nabi Muhammad, sahabat, dan ulama terdahulu.
Berbekal rasa penasaran, foto-foto dan video yang diunggah di instagram beliau saya buka. Saya mulai paham kenapa beliau digandrungi oleh banyak orang, barangkali benar apa yang pernah saya diskusikan bersama teman, ceramah-ceramah seperti yang disampaikan beliau seperti Dajjal, ciri-ciri Dajjal yang dicocokkan dengan si(apa)pun, misalnya saja beliau menyebut Amerika dan Israel adalah bentukan Dajjal. Disebutkan juga julukan Paman Sam ada hubungannya dengan panggilan Samiri, yang menurutnya adalah alternya Dajjal, dan tanda-tanda akhir zaman yang selalu disangkut pautkan dengan Dajjal.
Baca juga: Siapa itu Dajjal?
Menurutku itu adalah topik hoaks yang menggelikan tapi memang lebih bisa menyentuh perasaan, apalagi jika bicara hari akhir siapa yang tidak takut? dan konsekuensi logisnya dipikiran mereka hanya ada pahala dan dosa, atau surga dan neraka. Alih-alih ceramah yang mengandung kebaikan yang sifatnya universal contohnya mengasihi tetangga walaupun beda kepercayaan, akan kalah. Apalagi yang ceramah kyai-kyai sepuh kampung, misal.
Dengan ilmu agama yang tidak seberapa, penyebaran informasi yang sangat cepat melalui media sosial, dan daya kritis untuk menyaring informasi masih kurang, membuat seseorang melahap segala sesuatu tanpa pikir panjang. Apa-apa yang disampaikan ustadz Rahmat Baequni merupakan sebuah doktrin bukan lagi ceramah atau informasi yang valid. Lah wong tiap ceramah topik beliau selalu seperti itu. Ya iya saya tahu bahwa dari saya kecil sudah disuguhi informasi tanda-tanda akhir zaman beserta Dajjalnya.
Seiring berjalannya waktu, bertemu banyak orang, belajar dari satu tempat ke tempat lain, ketakutan tentang hari akhir terminimalisir dengan sendirinya. Alasannya simpel selama masih ada orang mengaji, kiamat tidak terjadi, jadi gunakan waktu untuk saling mengasihi dan berbuat baik kepada siapa pun.
Lalu yang membuat saya terkekeh tiap melihat unggahan beliau adalah membaca komentar dari para jemaatnya, mereka dengan sangat tega mendoakan agar Allah segera melaknat orang-orang yang menghina ustadz Rahmat Baequni lalu diamini oleh para pengikutnya yang lain. Komentar lain seperti, yang dislike penyembah Dajjal. Naudzubillah, tutur mereka.
Bagiku tidak masalah seseorang mempunyai panutan, tapi kok ini sampai ribut di media sosial mendoakan yang jelek-jelek, menghakimi seseorang,“Sekedar mengingatkan sekarang kan sedang trend, kak.”
Mengingatkan seseorang memang baik, tapi jika mengingatkannya dengan marah-marah di publik, lebih baik diam bukan? Walaupun panutan kita sedang kocar-kacir dibenci orang, atau banyak yang tidak sepakat dengan isi ceramah atau kebijakannya, jangan lantas main hakim sendiri dengan bawa-bawa Allah untuk melaknatnya.
Rasulullah didatangi sahabat menurut at-Thabrani sahabat itu bernama Abu Darda, ia meminta wasiat kepada Rasulullah untuk dijadikan pegangan hidup. Rasulullah menjawab, “Jangan marah” pertanyaan yang sama ia tanyakan lagi. Jawaban Rasulullah tetap sama, “Jangan marah” Diriwayat at-Thabrani, sahabat ini meminta Nabi SAW menunjukan perbuatan yang memasukan ia kedalam surga. Nabi SAW menjawab, “jangan Marah, maka untukmu surga”
Dari kisah tersebut sudah sangat jelas, bahwa dalam kondisi marah sekalipun hendaknya mampu menguasi diri. Bahkan Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 134 menyatakan bahwa tanda seseorang itu bertaqwa adalah ia mampu menahan amarah.
Barangkali kita lupa kalau pernah diajari oleh bapak ibu kita, untuk saling mendoakan keselamatan dan minta ampun bagi seluruh umat Nabi Muhammad SAW sekalipun yang dibenci. Barangkali semua keluputun itu konsekuensi logis dari ceramah-ceramah yang melulu membicarakan fitnah Dajjal, tanda-tanda hari akhir. Wallahu alam.