Belakangan kita sering melihat ceramah seseorang yang dianggap sebagai ustadz dengan isi ceramah penuh caci maki, melabeli orang yang berbeda pendapat dengan vonis “sesat”, serta serampangan dalam mengutip ayat: salah, di luar konteks, dan keliru menerjemahkannya. Lalu, sebenarnya, bagaimana pandangan ulama-ulama terdahulu memandang hal tersebut?
Ulama fiqih kenamaan bermazhab Syafi’i, Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974) sebagaimana dituliskan dalam kitabnya Al-Fatawa al-Haditsiyyah (masalah nomor 241), memuat diskusi menarik, sebagaimana terjemahan penulis berikut ini:
Ibnu Hajar ditanya tentang orang yang mengisi ceramah kepada masyarakat Muslim dengan menyertakan kutipan tafsir Al-Qur’an dan hadits sedangkan ia sendiri tidak menguasai ilmu sharaf (morfologi Arab), i’rab dari disiplin ilmu nahwu (sintaksis), ilmu ma’ani dan ilmu bayân (sastra Arab). Apakah orang yang mempunyai profil demikian boleh mengisi ceramah? Apakah dia dilarang ceramah sama sekali kecuali atas izin pemerintah? Apabila pemerintah melarang (lalu dilanggar), apakah mereka boleh dihukum? Jika dihukum, seberapa besar batasannya?
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menjawab, “Jika ia ceramah menggunakan ayat yang bersinggungan dengan anjuran melakukan kebaikan (at-targhîb), menyarankan untuk meninggalkan kejahatan (at-tarhîb) atau sejenisnya serta menggunakan hadits sesuai konteks atas apa yang ia bahas seraya mengutip tafsir-tafsir yang disampaikan para ulama yang berkompeten, maka bagi orang yang tidak paham nahwu, sharaf, atau disiplin ilmu lain sebagaimana di atas dipersilakan, tidak ada masalah.
Ibnu Hajar memberi alasan, karena dai/ustadz tersebut hanya mengutip perkataan ulama saja, maka tidak ada syarat lain kecuali hanya satu syarat yaitu dai/ustadz tersebut harus ‘adâlah/adil (ia bukan ahli maksiat yang melakukan dosa besar atau melakukan dosa kecil tapi terus-menerus sedangkan ia belum bertobat). Yang penting marwahnya terjaga, ia boleh berceramah.
Namun jika yang disampaikan oleh dai/ustadz tersebut berkaitan dengan olah pikir, namun ia meneliti sendiri tanpa basis ilmu yang jelas dan memadai, maka siapa pun juga baik itu ulama, pemerintah atau siapa pun orang yang mampu mencegah, harus bersama-sama melarang dai/ustadz tersebut untuk tampil di muka publik.
Apabila masyarakat tidak bisa menghalau dia berorasi, harusnya masyarakat melaporkan dai/ustadz tersebut kepada pihak berwajib supaya dihukum dengan hukuman berat supaya dia mengulangi perbuatannya dan orang-orang bodoh yang tidak mempunyai kapasitas ilmu cukup agar tidak meniru dai/ustadz tersebut.
Hal ini sangat penting disampaikan supaya tidak terjadi mafsadah (kerusakan) parah yang ditimbulkan dai/ustadz tersebut.
Berikut sedikit cuplikan asli perkataan Ibnu Hajar Al-Haitami:
وَأما إِذا كَانَ يتَصَرَّف فِيهِ بِرَأْيهِ أَو فهمه وَلَا أَهْلِيَّة فِيهِ لذَلِك بِأَن لم يُتْقن الْعُلُوم الْمُتَعَلّقَة بذلك فَإِنَّهُ يجب على أَئِمَّة الْمُسلمين وولاتهم وكلُّ من لَهُ قدرَة منعَه من ذَلِك وزجرَه عَن الْخَوْض فِيهِ، فإنْ لم يمْتَنع رفع إِلَى بعض قُضَاة الْمُسلمين ليعزِّره التَّعْزِير الشَّديد الْبَالِغ الزاجر لَهُ ولأمثاله من الجهَّال عَن الْخَوْض فِي مثل هَذِه الْأُمُور الصعبة لما يَتَرَتَّب على ذَلِك من الْمَفَاسِد والقبائح الْكَثِيرَة والشنيعة
Artinya: “Apabila dai/ustadz menyampaikan ceramah bukan berdasar kutipan tafsir ulama, namun semata-mata menggunakan olah pikir atau analisisnya pribadi, sedangkan ia bukan pakar di bidang itu, bisa jadi karena ia tidak menguasai keilmuan yang berkaitan atas ceramah yang ia sampaikan, maka bagi para ulama, pemerintah dan semua orang yang mampu untuk menghalau dai/ustadz tersebut supaya ia tidak menyebarkan kesesatan di situ.
Apabila tidak berhasil, maka perlu dilaporkan kepada pihak berwajib supaya dihukum (ta’zir) dengan hukuman berat yang bisa membuat jera dai/ustadz tersebut serta orang-orang bodoh agar tidak menyesatkan pada permasalahan yang rumit ini. Sebab efek kerusakan (mafsadah) dan keburukan-keburukan yang sangat banyak bisa timbul gara-gara mereka. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah, [Dârul Fikr], halaman 162)