Bukan baru kali ini bangsa kita mengenal istilah “anti-antian”. Sejak kemerdekaan Bung Karno sudah melontarkan anti-penjajah, anti kolonialisme dan anti imperialism. Segala “anti” yang Bung Karno usung berposisi tegas, jelas dan untuk maslahat rakyat banyak. Bahkan, sejak periode Haji Samanhudi yang menggawangi perkumpulan “Mardi Budi” lebih dulu menlontarkan anti monopoli perdagangan. Ia pun teguh, berprinsip dan argumentatif. Tidak pernah ada keadilan dalam monopoli perdagangan.
Ketika orde baru berkuasa, mahasiswa kita pun masih menggunakan istilah anti untuk menolak otoritarianisme bercokol di pimpinan tertinggi Negara. Secara substansi, baik pada periode pra-kemerdekaan, kemedekaan dan orde baru memiliki padanan pandangan bahwa “anti” di tahbiskan pada segala yang menghegemoni kebebasan, mengokupasi kemerdekaan dan melanggengkan status quo.
Fenomena baru muncul ketika pilkada DKI, kalimat anti asing-anti aseng kembali menyeruak ke permukaan. Tujuannya sederhana. Karena seorang etnis Tionghoa sedang berkontestasi menjadi kepala daerah. Sejak itulah kalimat anti terhadap segala mulai bergerser, lebih tepatnya hasrat anti etnis terus menyublim di momentum pesta demokrasi.
Beberapa bulan belakangan slogan “anti” juga kembali mengudara meramaikan jagat daring kita dengan berselimut kata tanpa. Dari Indonesia Tanpa JIL (ITJ), Indonesia Tanpa Pacaran (ITP) bahkan Indonesia Tanpa Feminis (ITF). Beberapa peneliti mensinyalir dapur kelahiran ketiga “Indonesia Tanpa” itu sama. Tapi, apa pentingnya?
Pertama-tama kita bisa mengkroscek besaran dampak dari kehadirannya. Jika ITJ, ITP dan ITF muncul di Negara berflowers macam kita ini yang juga ditambah dengan rendahnya tingkat literasi maka sudah barang tentu yang didapatkan hanyalah gelembung-gelembung fanatisme rapuh.
Seoalah sudah tidak ada lagi yang harus di-anti-kan, jadilah hal yang mengancam dogma agama sasarannya, “Pacaran”.
Kedua, kita bisa lihat basis argumentasi yang selalu digunakan. Jika dengan alasan “atas nama” agama lalu kemanusiaan dinomorduakan, mungkin para pengusung lupa kalau sebelum menjadi manusia beragama mereka lebih dulu menjadi manusia.
Di sisi lain, seberapa mengancam sih JIL, Pacaran dan Feminisme. La kok, sampai di anti-anti kan muncul di Indonesia? Lebih bahaya mana antara relasi Patriarki, kapitalisme, Kolonisasi dan Oligarki dengan JIL, Pacaran Feminisme?
Maaf-maaf nih ya… saya sekadar mengingatkan. Pernahkah terbesit di benak kita bahwa mungkinkah kita bisa beribadah dengan khusyuk (tenang) dan mendapatkan kebahagiaan di saat menjalankan ajaran kepercayaan dalam kondisi lapar, dalam kondisi perut yang lapar, dalam bayang-bayang kekhawatiran karena sawah satu-satunya yang kita miliki terancam digusur, dalam bayang-bayang satu-satunya rumah tempat tinggal kita bakalan digantikan Mall atau Bandara.
Relasi patriarkal dalam kehidupan yang kita jalani hari ini lebih mengerikan. Ia bukan hanya bercokol di altar pikiran laki-laki, tapi pada diri perempuan pun masih berpotensi buat ia bertengger. Bahkan, ia juga bisa ada pada tubuh orang yang beragama. Coba saja tengok, berapa banyak relasi antar individu yang kacau-balau diterpa konflik, diwarnai kekerasan seksual, pelecehan seksual hingga berakhir penghilangan nyawa.
Patriarki bukan hanya mengorbankan manusia lain, tapi ia bisa merangsek melalui sikap kita pada alam dan lingkungan, itu mengapa feminisme hadir yang tidak lain untuk menghadang gempuran corak relasi sosial yang timpang.
Corak Kapitalisme juga tak kalah mengerikan. Hingga saat ini masih ada banyak pekerja bebas (Precariat) yang nggak punya jaminan sama sekali dari apa yang ia kerjakan. Dari pekerja rumahan, buruh tani bebas, nelayan bebas sampai abang-abang Ojol terancam nasibnya. Sebab, kapitalisme akan selalu meniscayakan pekerja-pekerja baru yang siap sedia dibayar murah tanpa hak kepemilikan atas alat produksi. Prinsipnya sederhana, Tak ada kapitalisme tanpa pekerja.
Kapitalisme dalam makna yang sederhana; relasi sosial yang ditopang oleh capital alias modal. Bagi pemilik capital/modal akan selalu berikhtiar untuk mengakumulasi modalnya dengan menggunakan para pekerja sebagai alatnya. Maka, istilah buruh atau pekerja sejatinya ialah mereka yang menerima upah dari apa-apa yang telah dikerjakan pada pemilik modal/capital, sementara mereka para pekerja tidak memiliki hak apapun atas kepemilikan dari alat produksi.
Kolonisasi gaya baru pun lebih mengancam. Jika 1603-1800 penjajah dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) harus datang ke nusantara untuk mengeruk hasil kekayaan alam kita dan upah pekerja yang rendah. Maka, di era sekarang ini (community borderless) di mana mereka para pemilik perusahaan raksasa tidak perlu datang langsung. Sebab, memang sudah disediakan mekanisme online untuk menanam saham atau berinvestasi dengan mudah dan kadang juga dilabeli halal.
Dampak dari koloni korporasi global hingga kini masih di rasakan pace-mace di Papua, atau para ibu di pinggiran kaki pegunungan kendeng hingga sekarang. Betapa mereka merasakan langsung rasa terpinggirkannya menjadi warga yang bertempat tinggal ketika gerombolan korporasi datang. Jika mau ditambahkan mengenai catatan konflik akibat gempuran kolonial catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) cukup representatif untuk menyebutkan bahwa 244 pihak yang terlibat dalam konflik adalah pihak korporasi swasta.
Kondisi ini akan semakin mencekam ketika ditambah oligarki yang menguasai ribuan hektar tanah di Indonesia ternyata jumlahnya hanya segelintir. Lagi, KPA mencatat fakta ternyata wilayah JABODETABEK hanya di kuasai lima perusahaan pengembang.
Sampai di sini, coba dipikir ulang kalau mau buat slogan atau jargon yang mengundang kegaduhan massal. Jika memang memegang prinsip “mendahulukan mencegah yang berbahaya ketimbang mengambil suatu manfaat”, mestinya kita lebih butuh dengan Indonesia Tanpa Patriarki, Indonesia Tanpa Kapitalisme atau Indonesia Tanpa Oligarki atau bagi yang sadar dengan efek ancaman tambang bisa saja buat Indonesia Tanpa Tambang.
Saya sebenarnya percaya bahwa ada saat di mana kelompok yang mengusung ITP, ITJ, ITF merasa resah dengan apa yang mereka lawan. Terlampau abstrak, absurd dan mungkin solusi yang diusung ya paling Khilafah itu itu aja.
Untuk mengatasi geliat kampanye mereka bagi saya cukup sederhana. Perseringlah dialog dengan mereka, sambil lalu berdoa “ya Tuhan, Berilah mereka suatu petunjuk. Sesungguhnya mereka tak mengetahui apa yang mereka kampanyekan” Amin….
Waallahu a’alam bi showab.