Mekkah di masa Nabi merupakan gambaran sebuah masyarakat yang sangat konservatif, feodal, homogen, dan takut pada Hal-hal baru. Di kota ini, gerakan pembaharuan dituduh sebagai upaya merobohkan tradisi adat.
Dalam suasana Mekkah seperti itu, yang sangat anti pada dialog dan perbedaan, gerakan pembaharuan yang dibawa Muhammad menghadapi tembok besar. 13 tahun melakukan pengorganisasian sosial, Muhammad gagal membangun peradaban agung di Mekkah.
Rezim feodal yang anti dialog merupakan musuh besar peradaban. Mekkah adalah contoh bahwa peradaban tidak mungkin tegak di atas pondasi homogenitas dan ketakutan pada Kebhinekaan.
Hal sebaliknya, Yatsrib adalah cermin dari masyarakat heterogen yang sangat terbuka dan toleran. Di Yatsrib, orang-orang Yahudi dan beberapa suku yang mempunyai beragam kebudayaan telah lama merajut dialog.
Oleh karena itu, setelah tiba di Yatsrib, Muhammad berinisiatif mengubah namanya menjadi Madinah, yang berarti kota. Madinah sendiri mempunyai akar kata yang sama dengan “tamaddun “, yang berarti peradaban.
Maknanya, peradaban agung hanya bisa tumbuh di atas pondasi keterbukaan dan Kebhinekaan. Madinah mencerminkan itu.
Hal ini tentu jauh berbeda dengan Mekkah yang kolot dan homogen. Di Mekkah hanya ada satu suku yang dominan, suku Quraisy, yang feodal dan tidak mempunyai pengalaman berdialog dengan suku lain atau kebudayaan lain. Orang-orang Mekkah sangat gagap pada perbedaan.
Di titik ini, kita memaknai hijrah sebagai transformasi cara berpikir. Dari cara berpikir yang kolot dan anti dialog menjadi cara berpikir terbuka dan toleran pada perbedaan.
Sikap terbuka dan ramah pada perbedaan merupakan tonggak penting untuk membangun peradaban agung. Sebaliknya, cara berpikir yang kolot dan suka memaksakan pendapat merupakan musuh dari peradaban.
Hijrah adalah proyek transformasi sosial untuk mengubah “watak Mekkah ” yang feodal, menindas, dan anti kritik menjadi “watak Madinah ” yang egaliter, santun, dan terbuka pada kritik.
Ramadhan adalah proyek spiritual menuju manusia bermental Madinah, sebuah mental yang tidak gagap dan gugup merespon Kebhinekaan.