Dari sumber-sumber Islam baik al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw dan pendapat para ulama diketahui bahwa dimensi pengabdian atau ibadah sosial dan kemanusiaan dalam Islam sesungguhnya jauh lebih luas dimensinya dan lebih utama maknanya dibandingkan dengan dimensi ibadaha personal.
Dalam teks-teks fiqh klasik, kita dapat melihat bahwa bidang ‘Ibadah (badah personal) merupakan satu bagian saja dari sekian banyak bidang keagamaan lain seperti mu’amalat madaniyyah (hubungan sosial), munakahat (al-Ahwal al-Syakhshiyyah/hukum keluarga), jinayat (pidana), Qadha (peradilan) dan Imamah atau siyasah (politik). Atau bahkan ; al-‘alaqat al-dawliyah (hubungan internasional).
Dalam buku-buku hadits, kita juga melihat bahwa bab ibadah personal jauh lebih sedikit dibanding bab-bab yang lain. Fath al-bari Syarh Shahih al-Bukhari, sebuah kitab hadits paling populer, misalnya hanya mengipas persoalan ibadah dalam empat jilid dari dua puluh jilid yang menghimpun bab lainnya.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa perhatian Islam terhadap persoalan-persoalan publik jauh lebih besar dan lebih luas dari pada perhatian terhadap persoalan-persoalan personal. Tapi, apakah kita mengetahuinya?
Dan memang persoalan kehidupan manusia sangat luas dan terus menerus berkembang. Dalam sebuah kaedah fiqh disebutkan : “al-Muta’addi afdhal min al-Qashir” (Amal ibadah yang membawa efek lebih luas itu lebih utama dari pada amal ibadah yang membawa efek terbatas). [DP]
Al-Ghazali mengungkapkan dalam bahasa : “al-Naf’ al-muta’addi a’zham min al-naf’ al-qashir” (ibadah yang memberi manfaat menyebar lebih agung daripada ibadah yang membawa manfaat kepada diri sendiri), (Bidayah al-Hidayyah, halm. 34). Terhadap hal ini Abu Ishaq al-Syirazi dan Imam Haramain mengatakan bahwa “orang yang melaksanakan kewajiban kolektif 9fardhu kifayah) acapkali memiliki nilai lebih tinggi ketimbang melaksanakan kewajiban individual (fardhu ‘ain) karena kewajiban kolektif dapat membebaskan kesulitan banyak orang”. (Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al_nazhair, 99).