Saya begitu bahagia ketika ulama-ulama Aceh bersilahturahmi dengan capres, Jokowi di Istana negara. Mengapa? Bukankah bahaya bila ulama berpolitik? Bukankah umat bisa terbengkalai? Dan masih banyak kontra ide dengan ulama berpolitik. Bagi saya malah sebaliknya, ulama harus berpolitik agar tidak dipolitisir.
Dalam tulisan singkat ini saya bersikeras bahwa ulama wajib berpolitik. Secara historis maupun agama, tidak ada larangan ulama berpolitik bahkan sejarah mengatakan bahwa ulama memang berpolitik. Secara yuridis siapapun yang memenuhi kualifikasi boleh berpolitik, termasuk ulama. Secara sosiologis, ulama merupakan simbol massa, sedangkan politik hari ini membutuhkan massa.
Sebelum lebih jauh membahas mengapa ulama wajib berpolitik, sekedar mengkail ingatan kita, mari kita samakan definisikan siapa itu ulama. Secara bahasa, Ulama, kata jamak dari kata tunggal “Alīm”. Secara literal berarti orang-orang yang berilmu. Kata ini disebut dalam Al-Quran:
إنما يخشى الله من عباده العلماء
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Q.S. Fathir: 28)
Tetapi Al-Quran menyebut banyak kata lain yang semakna atau memiliki konotasi yang sama dengan ulama. Antara lain, “ulul ilmi” (yang punya ilmu), “ulul albab” (yang mempunyai hati/pengetahuan inti/substantif), “ulil abshar” (yang punya pengetahun), “ulin nuha” (yang mempunyai akal yang sehat) dan ahl al-dzikri” (yang selalu mengingat Tuhan).
Dari definisi itu kita bisa mengambil simpulan bahwa ulama merupakan salah satu manusia terbaik. Bukan hanya berilmu, ulama juga memiliki moral yang lebih baik dari kita. Itu artinya mereka sangat pantas bahkan berkewajiban berpolitik. Melalui politik kebijakan akan diambil, melalui politik nasib sebuah bangsa ditentukan.
Bila selama ini praktik politik dipenuhi kelicikan, keculasan, maupun perbuatan amoral maka kini saatnya politik menjadi tempat sebaliknya. Karena itulah saya sangat mendukung bila manusia berilmu dan bermoral terjun di dunia politik. Semacam oase yang bisa menghilangkan dahaga akan kebaikan dan kebenaran.
Imam Al-Ghazali bahkan menggambarkan ulama sebagai sosok yang makananannya, pakaiannya, tempat tinggalnya (rumah) dan hal- hal lain yang berkaitan dengan kehidupan duniawi, sederhana, tidak bermewah-mewahan dan tidak berlebihan dalam kenikmatan. Kalau begitu indah akhlak seorang ulama mengapa kita panik bila ulama berpolitik.
Kita pasti ingin memiliki politisi yang memiliki akhlak demikian indahnya. Menurut saya, hal itu akan terwujud bila ulama diberi kesempatan lebih untuk berpolitik. Jangan terganggu dengan asumsi-asumsi yang bernada negatif bila ulama berpolitik. Kalau ada yang dianggap ulama kemudian setelah berpolitik ia khianat, maka ia sebenarnya bukan ulama meskipun ia Ketua Umum organisasi Islam sekalipun.
Kita sering salah mendefinisikan ulama bahkan menganggap seseorang ulama tanpa dasar. Asal sudah hafal 30 Juz Al-Qur’an beserta maknanya kita anggap ulama. Asal sering shalat jama’ah, berjenggot, hebat ceramahnya, bersurban, maupun pimpinan pondok pesantren langsung kita anggap ulama. Padahal tidak sesederhana itu.
Ulama itu mereka yang berbuat kebaikan tanpa berharap imbalan. Ulama itu tidak terima suap meski memiliki kesempatan dan kekuasaan. Ulama itu tidak senang publikasi apalagi pencitraan, ulama itu menepati janji kampanye dan malu bila tidak menepati. Pribadi yang begini wajib kita dukung untuk berpolitik.
Pribadi yang begini wajib pula ikut aktif didalam politik. Salah bila kita biarkan politik dipraktikan orang-orang yang selama ini kita saksikan. Politik itu bertujuan mensejahterakan semua warga negara dan itu hanya bisa dilakukan oleh ulama bukan yang lain. Saya juga ingin menjawab keresahan hati umat bila ulama berpolitik. Beberapa keresahan itu misalnya akan terbengkalai urusan keumatan. Alasannya ulama disibukan dengan politik sehingga tidak ada waktu khutbah, ceramah, maupun tausyiah.
Saya jawab, ulama berpolitik itu sebenarnya mengurus umat yang lebih besar. Mereka bukan hanya mengurus umat Islam namun semua agama. Bukankah hal itu yang dicontohkan Nabi dan para sahabat. Mereka mengurus umat sekaligus negara, mereka tetap ikhlas dan tidak bermewahan. Mereka tetap shalat berjamaah maupun aktifitas lainnya yang berkaitan dengan kerja-kerja ulama. Jadi keresahan umat akan terbengkalai bukan alasan namun sikap pesimis yang ditanamkan orang-orang jahat.
Mereka yang biasa korupsi pasti takut bila ulama berpolitik. Alasannya sederhana, ruang mereka melakukan korupsi sejak sebuah RUU hendak dijadikan UU akan sempit. Ruang mereka melakukan proses tender dengan jalan menyimpang akan terhambat bahkan terhenti bila ulama-ulama mendominasi perpolitikan. Jadi, mereka yang takut ulama berpolitik akan mempropagandakan jeleknya bila ulama berpolitik. Jangan terkecoh dengan propaganda tersebut.
Lalu ada pula yang resah bila ulama berpolitik akan diterapkan syariat Islam. Ketakutan ini juga tidak berasalan, pasalnya dua ormas Islam yang didalamnya dipenuhi ulama tidak pernah bicara itu. Ulama di Indonesia sudah paham Pancasila sehingga tidak ada niat sedikitpun menggantinya dengan syariat Islam.
Sejak Republik hendak diproklamirkan wacana itu hanya dihembuskan oleh mereka yang hendak memojokkan ulama. Apa ulama-ulama kita pernah menolak sistem demokrasi? Tidak, mereka malah meminta umat tidak golput dalam setiap pemilu.
Kini saatnya kita bebaskan diri dari propaganda yang melarang ulama berpolitik. Saatnya kita bebaskan diri dari ketakutan-ketakutan yang merupakan hasil propaganda. Mari jadikan politik sebagai ‘ladang’ kebaikan. Dan ulama harus menjadi pelaku utama di ladang tersebut. Kita sambut era baru dimana orang-orang berilmu dan berakhlak mulia menjadi pemain utama dalam politik.
Selama ini logika kita telah keliru, akal sehat sedang sakit sehingga harus segera disembuhkan. Masa sih orang-orang berilmu dan berakhlak tidak kita dukung menjadi politisi. Sementara mereka yang jelas-jelas tidak jelas ilmu dan akhlaknya malah kita agungkan. Kekacauan yang selama terjadi ternyata dampak kekeliruan logika kita. Semoga logika dan akal sehat kita segera berada di jalan yang benar.
Wallahu A’lam.