Beberapa hari yang lalu saya menonton film yang disutradarai oleh Ernest Prakasa berjudul “Cek Toko Sebelah” (2016). Film berdurasi 100 menit tersebut berhasil mengulik kompleksitas keluarga berlatar belakang etnis Tionghoa dan memunculkan kehidupan masyarakat Indonesia dengan sangat cair. Keberhasilan Ernest menampilkan beberapa tokoh yang berlatar belakang etnis tertentu dalam satu bingkai toko kelontong dan setiap tokoh memiliki sisi baik-gelapnya masing-masing, tanpa harus ada stigma tertentu. Contoh, kikir pada etnis Tionghoa atau semacamnya. Tentu saja, ini bias dan stigma negatif belaka.
Film adalah agen penyebaran ide. Keunggulan visual dan bunyi yang dimiliki sebuah film memiliki efek “bius” pada penonton sekaligus menyisipkan ide melalui tanda, simbol, dan suara tanpa disadari di kepala penikmatnya. Film G 30 S adalah contoh konkret yang diproduksi rezim Orde Baru untuk memberikan tafsiran yang harus dikonsumsi oleh rakyat Indonesia dan tentu saja tidak sesuai fakta sejarah.
Di Amerika, di tengah isu rasisme semakin mencuat di negara adidaya tersebut di bawah Donald Trump lengkap dengan segala persoalannya seperti Imigran damn lain-lain juga mengalami hal serupa. Insan perfilman juga mencoba melawan dengan memberikan tontonan bermutu yang melawan narasi kebencian pada etnis, ras, atau agama yang berbeda. Bangkitnya gerakan supremasi kulit putih sangat berperan dalam menguatnya isu rasisme ini.
Oleh sebab itu, dua film muncul piala Oscar dan layak kita bicarakan. Keduanya mengambil tema rasisme yaitu film “BlackKKKlasman” dan “Green Book”. Dua film yang didasarkan kejadian yang terjadi hampir bersamaan tersebut mencuat karena menjadi bagian usaha melawan lupa akan kekejaman rasisme di Amerika. Dan, Anda tahu, Amerika memang memiliki sejarah yang berdarah-darah dan sangat menyakitkan terkait rasisme.
BlackKKKlasman menceritakan salah satu polisi kulit hitam pertama di Amerika, bernama Ron Stallworth. Film ini menjadi semakin menarik karena investigasi yang dilakukan Ron bersama opsir polisi yang lain pada satu organisasi yang saat itu dicurigai telah menanamkan dan menyuburkan kebencian pada imigran dan bangsa Yahudi karena telah meracuni kehidupan bangsa unggul yaitu Bangsa Aryan (baca: kulit putih Eropa). Bagi yang memeliki keprihatinan akan masa depan bangsa kita dalam persoalan rasisme dan xenophobik, film ini juga direkomendasikan untuk ditonton. Karena di film ini juga memperlihatkan bagaimana instrumen agama dimainkan untuk menumbuhkan kebencian yang beraroma Machiavellian, yang akrab terjadi di Indonesia.
Sedangkan film Green Book menarasikan perjalanan konser pianis terkenal kulit hitam yang harus mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan, hingga kekerasan fisik. Kenapa? Sebab ia kulit hitam.
Donald Shierly adalah pianis kulit hitam yang permainan di alat musik piano dianggap bagaikan dewa, dengan pujian setinggi langit tersebut seakan lenyap, karena dia tetap merasakan kerasnya perlakuan kepada kaum “kulit berwarna” dari kelompok kulit putih.
Green Book, yang dijadikan judul film, sebenarnya adalah sebuah buku panduan perjalanan khusus kepada “kulit berwarna” yang diproduksi sebagai katalog hotel, tempat makan dan lain-lain yang masih menerima selain kulit putih untuk beraktivitas di dalamnya.
Arkian, Amerika memiliki sejarah yang sangat menyakitkan bagi kelompok minoritas. Kehidupan mereka dibagi ke dalam ruang-ruang publik yang seharusnya dinikmati bebas oleh semua orang, tapi tidak di Amerika sekitar tahun 1960an. Kalangan “kulit berwarna” harus menjalani berbagai larangan yang membatasi ruang gerak mereka dalam kehidupan sehari, seperti larangan makan di tempat yang tidak menerima kulit berwarna, menggunakan alat transportasi yang sudah diatur tempat duduknya, dan berbagai aturan lainnya.
Dari tiga film di atas kita bisa belajar bahwa kehidupan yang diwarnai dengan kebencian pada mereka yang berbeda bagaikan racun yang akan menghancurkan kedamaian. Jika kita mengenal Supremasi Kulit Putih yang memiliki reputasi desktruktif pada tatanan kedamaian dunia, maka kita sebagai umat Islam di Indonesia sudah seharusnya belajar dari tiga film di atas untuk mewujudkan Indonesia sebagai tempat tinggal yang indah bagi seluruh kalangan, sehingga jangan lagi memberikan tempat pada kebencian yang disandarkan pada perbedaan kulit, ras, agama, dan stigma lainnya.
Pelajaran khusus dari BlackKKKlansmann dan Green Book adalah, kekerasan verbal dan fisik tersebut sangat terstruktur dan membudaya. Imajinasi akan kemurnian dan ketinggian budaya akhirnya menyingkirkan orang yang berbeda atau tidak muat di dalam standar yang dibikin penguasa. Imaji atau citra yang disisipkan melalui peraturan, budaya musik, pakaian, panggilan hingga makanan yang kemudian dikonstruksi di dalam pikiran masyarakat, untuk membangun kebencian.
Di Indonesia, rasisme dibangun atas dasar keterancaman. Misalnya, sikap rasisme kepada kelompok Tionghoa sering disandarkan pada ketidaksukaan kita pada dominasi mereka di bidang ekonomi, atau ketakutan kalangan muslim pada non-muslim karena ancaman misionaris dan lain-lain.
Sekadar catatan bagi pembuat film atau produsen film “Islami” sudah seharusnya mulai menampilkan Islam Rahmatan Lil Alamin dalam arti yang sesungguhnya. Islam yang menjadi pembela kepada ketertidasan kelompok rentan, bukan malah mengglorifikasi kebencian akan Islam (Islamophobia) yang dijadikan alasan kita membenci salah satu etnis atau suku dan rasa keterancaman yang tidak beralasan.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin