Ada fenomena yang menarik dari paska aksi penembakan yang dilakukan oleh seorang rasis anggota White Supremacist yang menewaskan 49 kaum muslim di Selandia Baru. Terjadi banjir solidaritas kemanusiaan terhadap keluarga korban dan komunitas muslim di Selandia Baru. Berduyun-duyun untuk mengungkapkan simpati yang dilakukan mulai masyarakat sipil biasa hingga Perdana Menteri Selandia Baru.
Banjirnya solidaritas tersebut tentunya menjadi obat penawar kesedihan di tengah duka cita kita atas terjadinya kasus keji yang melanggar nurani kemanusiaan itu. Dan solidaritas tersebut menandakan bahwa masih kuatnya rasionalitas masyarakat dunia untuk menolak aksi-aksi yang menodai kemanusiaan. Sekaligus menandakan masih kuatnya keinginan masyarakat dunia untuk mengukuhkan kehidupan dunia yang penuh dengan kedamaian dan persaudaraan.
Tentu yang paling fenomenal dari aksi solidaritas tersebut adalah aksi yang dilakukan oleh anak muda yang bernama Will Connoly. Ia melakukan aksi heroik dan simpatik dengan memecahkan sebutir telur di kepala Fraser Anning, seorang poltisi sayap kanan Australia. Paska aksi heroiknya tersebut, si anak muda itu populer dengan julukan Si Eggboy (lelaki telur).
Si Eggboy memecahkan telur di kepala politisi sayap kanan itu lantaran marah dengan sikap sang politisi Australia itu. Bukannya berduka cita dan bersimpati dengan kasus yang menimpa kaum muslim. Si politisi malah menyalahkan dan menyudutkan korban yang dinilainya menjadi biang masalah negeri Barat karena melakukan imigrasi dan mengancam kaum kulit putih.
Solidaritas lain yang sangat menggembirakan adalah yang dilakukan oleh Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru. Berbeda dengan politisi Fraser Anning yang menyalahkan korban. Si Perdana Menteri sangat simpati dengan komunitas muslim di Selandia Baru. Dukungan Sang Perdana Menteri tersebut sangat menggembirakan bagi kaum muslim di sana. Mereka tidak merasa sendirian di tengah masalah berat yang sedang diderita.
Tidak hanya di luar negeri, di tanah air juga terjadi solidaritas yang serupa. Semua lapisan masyarakat di tanah air juga menyampaikan simpati dan solidaritasnya kepada para keluarga korban dan meminta kepada para komunitas muslim di Selandia Baru untuk lebih kuat dan tabah menghadapi peristiwa yang memilukan tersebut.
Terkait dengan kasus penembakan di Selandia Baru tersebut. Sepatutnya di tanah air tidak hanya sebatas melakukan simpati dan solidaritas saja. Bukannya penulis menganggap simpati dan solidaritas sebagai sesuatu yang tak penting. Bukan demikian, harus lebih dari itu. Kita harus melakukan refleksi dan belajar dari kasus Selandia Baru tersebut.
Fakta-fakta paska kejadian menyebutkan bahwa pelaku penembakan tersebut adalah seorang anggota dari White Supremacist. Sebuah organisasi yang memiliki agenda untuk supermasi kulit putih di Australia. Agenda paling dekat mereka adalah menolak imigran dari luar negeri, khususnya yang memiliki kulit berwarna.
Bagi mereka, kedatangan banyaknya para imigran akan mengancam eksistensi warga kulit putih. Bahkan ada paranoid bahwa kulit putih akan segera punah jika imigran terus di biarkan. Narasi rasis dan penuh kebencian seperti itulah yang melatari Tarent si pelaku penembakan melakukan aksi yang keji tersebut.
Narasi kebencian kelompok White Supermacist yang demikian itu bukanlah hanya kasus lokal Selandia Baru atau Australia saja. Wacana kebencian seperti itu kini adalah fenomena global. Di Eropa, Amerika dengan Trump, Brazil dengan Bolsonaro dan bahkan juga fenomena yang marak terjadi di Indonesia.
Barangakali kita belakangan sering mendengar narasi anti asing. Ada ketakutan yang dipropagandakan bahwa orang-orang asing khususnya dari Cina akan menyerbu Indonesia dan akan menghancurkan warga pribumi. Beberapa hari yang lalu, Haikal Hassan, seorang ustadz populer yang juga merangkap sebagai Tim Sukses Capres-Cawapres Prabowo-Sandi membuat twit yang menebarkan ketakutan kepada sesuatu yang asing.
Dengan demikian, narasi kebencian dan paranoid terhadap sesuatu yang asing adalah juga masalah kita bersama di tanah air. Kasus Selandia harusnya tak sekedar menjadi aksi solidaritas semata. Walaupun itu juga penting. Tapi harus lebih dari itu. Kita juga harus mengoreksi dan mengintropeksi diri kita sendiri adakah kebencian yang serupa di negeri kita?
Toh, walaupun tidak persis serupa dengan kasus di Selandia Baru. Aksi kekerasan yang dialamatkan kepada kelompok yang dianggap minoritas dan asing di tanah air bukanlah hal yang jarang terjadi. Atau bahkan, kalau dihitung-hitung secara teliti, jangan-jangan korban di tanah air jumlahnya lebih banyak lagi.
Terakhir, dengan melihat besarnya potensi terjadinya kasus serupa Selandia Baru di tanah air. Nampaknya kini kita tak hanya cukup melakukan sebatas solidaritas kepada para korban penyerangan di Selandia Baru saja. Kini kita juga harus menyadari bahwa di tanah air sendiri, dengan kita melihat gejalanya, potensi hal yang sama untuk terjadi juga besar. Maka, kita harus merapatkan barisan juga untuk bersolidaritas dalam mencegah kasus serupa itu tidak terjadi di Indonesia.