Bagi junjungan dan tauladan kita, Nabi Muhammad SAW, bumi yang membentang merupakan sajadah yang menjadi sarana ampuh bagi berlangsungnya perjumpaan paling sakral dan estetis dengan hadirat-Nya. Tak terkecuali juga bagi umatnya dari kalangan kaum spiritualis yang tak lain adalah para nabi dan wali.
Seorang sufi kontroversial, Syaikh Husin bin Manshur Al-Hallaj, dalam sebaris puisinya menuturkan, “Bagian bumi manakah yang kosong dari kehadiran-Mu sehingga mereka perlu terbang ke langit untuk mencari hadirat-Mu?” Sebuah pertanyaan retoris yang tidak memerlukan jawaban, tapi bagaimana tuntutan spiritual yang ada di dalamnya bisa direalisasikan.
Di saat menghadap kepada Allah Ta’ala, baik secara langsung maupun tidak, mata batin beliau dapat menyaksikan sekaligus memastikan bahwa hadirat-Nya itu begitu nyata dan sesuai persis dengan ilmu rohani yang dimiliki oleh beliau. Sementara mata lahir beliau menyaksikan Allah Ta’ala hadir pada diri beliau dengan segenap keagungan yang memang pantas disandang oleh hadirat-Nya.
Maka sempurnalah penghambaan beliau kepada Allah Ta’ala dengan menggabungkan dua model ibadah sekaligus. Yaitu, ibadah yang berlangsung di dalam “ruang imajinasi” yang mutlak dan ibadah yang berlangsung di luarnya yang serba nisbi. Dimensi batin dan lahir beliau sama-sama teraktualisasi secara maksimal dalam mempersembahkan penghambaan yang utuh pada hadirat-Nya.
Tentu saja konsepsi tentang imajinasi di sini tak sebagaimana yang dipahami dan diarungi oleh kaum seniman yang menjadi asas bagi lahirnya berbagai macam karya seni. Tapi murni menunjuk kepada absolusitas cakrawala keilahian yang tidak memiliki padanannya di antara renik-renik realitas yang fana ini. Syeikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi menyebutnya dengan istilah imajinasi yang suci (الخيال القدسية).
Model ibadah sebagaimana yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW itu memiliki korelasi yang kuat dengan dua nama Allah Ta’ala yang saling berkelindan, yakni Lahir dan Batin. Dimensi batin Sang Nabi menghablur dan tenggelam secara sempurna di dalam samudera absolusitas hadirat-Nya. Sedang dimensi lahir beliau berpaut erat dengan segenap kemahaan dan kehadiranNya pada segala alam ciptaan.
Model penghambaan ideal yang seperti itu tidak akan tumbuh dan berkembang sebagaimana semestinya kecuali bagi seseorang yang telah diskenario oleh Allah Ta’ala sebagai “rumah-Nya” sendiri. Yakni orang yang telah dianugrahi kesanggupan untuk tidak menyaksikan dan merasakan yang lain. Karena memang apa yang disebut sebagai yang lain itu sebenarnya tidak ada dan tidak akan pernah ada.
Syeikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi menyatakan dalam kitab Tanbihat ‘ala ‘uluww al-Haqiqah al-Muhammadiyyah yang menjadi rujukan utama bagi penulisan esai-esaiku tentang spiritualitas Nabi Muhammad SAW bahwa seluruh makhluk itu menyembah Allah Ta’ala secara gaib kecuali Manusia Sempurna (al-insan al-kamil). Dia beribadah dengan menyaksikan hadirat-Nya. Inilah yang pernah dialami oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib yang kemudian diungkapkannya, “Sesungguhnya aku tidak menyembah Tuhan yang aku tidak menyaksikanNya.”
Sungguh betapa lezatnya, betapa nikmatnya menyembah Allah Ta’ala sambil menyaksikan hadirat-Nya yang tidak lain merupakan asal-usul dari segala kenikmatan dan keindahan, baik yang ada dan bertebaran di dunia ini maupun yang akan dipersembahkan di akhirat nanti kepada orang-orang yang beruntung dari kalangan mereka yang beriman dan gemar beramal saleh.
Dan untuk sampai pada derajat paling bergengsi secara spiritual itu, siapa pun mesti sampai, dengan karunia-Nya, pada tingkatan iman yang sempurna. Yakni cahaya keilahian yang sanggup menyapu bersih segala kekelaman yang bersarang di dalam jiwa dan pikiran. Wallahu a’lamu bish-shawab.