Tradisi di masyarakat, saat khutbah berlangsung, kotak amal masjid diedarkan dari satu jamaah ke yang lain, untuk mempersilakan masing-masing menyumbang di kotak tersebut. Bagaimana hukumnya menurut pandangan fiqih?
Anjuran saat khutbah berlangsung adalah diam mendengarkan khutbah dengan seksama. Anjuran ini berdasarkan firman Allah ﷻ:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan khutbah, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf, 204).
Kata “al-Qur’an” dalam ayat tersebut ditafsiri dengan khutbah. Penamaan khutbah dengan sebutan Al-Quran, karena di dalam khutbah mengandung ayat suci Al-Qur’an.
Syekh Zakariyya al-Anshari mengatakan:
و سن لمن سمعهما انصات فيهما أي سكوت مع إصغاء لهما لقوله تعالى وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا ذكر في التفسير أنها نزلت في الخطبة وسميت قرآنا لاشتمالها عليه
“Orang yang mendengar kedua khutbah disunnahkan inshât, yaitu diam disertai mendengarkan secara seksama bacaan khutbah, karena firman Allah ﷻ, ‘Dan apabila dibacakan khutbah, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah.’ Disebutkan dalam tafsir bahwa ayat tersebut turun dalam permasalahan khutbah. Khutbah disebut dengan Al-Qur’an karena khutbah mengandung ayat suci Al-Qur’an.” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz.1, hal.134).
Oleh karenanya, Nabi melarang berbicara saat khutbah berlangsung. Dalam sabdanya, beliau menegaskan:
إذَا قُلْت لِصَاحِبِك أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika kamu katakan kepada temanmu, diamlah, di hari Jumat saat khatib berkhutbah, maka kamu telah melakukan perbuatan menganggur (tiada guna).” (HR. Muslim).
Dalam literatur fiqh mazhab Syafi’i, hukumnya makruh berbicara atau mengobrol saat khutbah berlangsung. Demikian pula makruh dilakukan saat khutbah berlangsung, segala kegiatan yang dapat melalaikan dari khutbah, seperti membagikan kertas, membagikan sedekah, bermain-main, mengedarkan kendi dan botol untuk berbagi minuman dan lain sebagainya. Dalam titik ini, mengedarkan kotak amal tergolong hal yang dimakruhkan ini, sebab memiliki titik temu yang berupa melalaikan diri dari khutbah.
Syekh Sulaiman al-Jamal mengatakan:
ويكره المشي بين الصفوف للسؤال ودوران الإبريق والقرب لسقي الماء وتفرقة الأوراق والتصدق عليهم ؛ لأنه يلهي الناس عن الذكر واستماع الخطبة ا هـ . برماوي .
“Makruh berjalan di antara shaf untuk meminta-minta, mengedarkan kendi atau geriba untuk memberi minuman, membagikan kertas dan bersedekah kepada jamaah, sebab hal tersebut dapat melalaikan manusia dari zikir dan mendengarkan khutbah.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 2, hal. 36).
Namun demikian, bila mengedarkan kotak amal tersebut bertujuan untuk menghindari gunjingan dan stigma negatif di masyarakat, maka hal tersebut diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Sebagaimana tradisi selametan 3 hari kematian mayit yang semula hukumnya makruh, namun bila ada tujuan menghindari gunjingan masyarakat, maka diperbolehkan, bahkan sangat diharapkan mendapat pahala karena tujuan mulia tersebut.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan:
جميع ما يفعل مما ذكر في السؤال من البدع المذمومة لكن لا حرمة فيه إلا إن فعل شيء منه لنحو نائحة أو رثاء ومن قصد بفعل شيء منه دفع ألسنة الجهال وخوضهم في عرضه بسبب الترك يرجى أن يكتب له ثواب ذلك أخذا من أمره صلى الله عليه وسلم من أحدث في الصلاة بوضع يده على أنفه وعللوه بصون عرضه عن خوض الناس فيه لو انصرف على غير هذه الكيفية
“Segala tradisi yang disebutkan dalam pertanyaan di atas (termasuk selametan 3 hari kematian mayit) termasuk bid’ah yang tercela, namun tidak haram, kecuali melakukannya dengan tujuan meratapi kepergian mayit. Orang yang melakukan tradisi tersebut dengan tujuan menolak gunjingan masyarakat dan serangan mereka terhadap harga dirinya disebabkan meninggalkan tradisi tersebut, maka diharapkan mendapatkan pahala. Hal tersebut berlandaskan pada perintah Nabi untuk memegang hidung bagi orang yang berhadats di tengah shalat. Ulama memberikan alasan yang rasional, bahwa hal tersebut dilakukan untuk menjaga harga dirinya dari cercaan manusia apabila ia beranjak dari shalat tidak menggunakan cara memegang hidung tersebut.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 2, hal. 7).
Baca artikel selengkapnya