“Ok mas, tidak perlu pakai dalil yang fikih-fikih, saya cukup dalil aqliyah saja, Anda setuju nggak Islam Nusantara, ‘tidaakkkk’ (jawab peserta pengajian) sudah ini dalilinya, nggak usah pakai dalil fikih. Saya nggak ngerti dalilnya, saya nggak ngerti Al-Qurannya.”
Begitulah kiranya cuplikan ceramah Sugik Nur di Sumatera Utara untuk menjawab pertanyaan seorang laki-laki terkait kaedah fikih yang kemudian diintimidasi dan digiring keluar oleh para pembelanya. Saya yakin, para pembela Sugik Nur yang menggiring pemuda itu juga tidak lebih pintar dalam urusan fikih dari seorang laki-laki yang bertanya tersebut.
Baca Juga: Sugik Nur yang Ngawur, Salah Ayat dan Manipulasi Umat
Dari jawaban Sugik tersebut, bisa disimpulkan secara langsung bahwa Sugik sangat jelas terlihat tidak mengerti perbedaan fikih, kaedah fikih, ushul fikih dan nash. Sugik mengeneralisir semua dalil, fikih dan kaedah fikih itu ya Al-Quran. Parahnya lagi, dia sendiri tidak mengerti ayat Al-Quran yang seharusnya ia gunakan sebagai pijakan untuk menyesatkan kelompok atau faham Islam Nusantara.
Alih-alih menyebutkan kaedah fikih atau ayat Al-Quran, Sugik malah memilih untuk menggunakan dalil aqli yang juga sangat jauh dari kata sesuai dengan definisi dan praktik ulama ushuliyyin (ulama ushul fikih). Sugik mengira bahwa jawaban dari para jamaah tentang kesesatan Islam Nusantara sudah termasuk dalam kategori dalil aqli. Benarkah demikian?
Dalam literatur ushul fikih klasik sendiri jarang kita temukan secara eksplisit terkait pendefinisian dalil aqli. Hanya Imam al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushulil Ahkam yang menjelaskan bahwa dalam proses penggalian hukum ada tiga sumber yang bisa dijadikan landasan atau dalil.
وأما حده على العرف الأصولي فهو ما يمكن التوصل به إلى العلم بمطلوب خبري وهو منقسم إلى عقلي محض وسمعي محض ومركب من الأمرين
“Adapun definisi dalil menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang bisa digunakan sebagai media untuk sampai pada pengatahuan yang bersifat berita (bukan pengetahuan inderawi). Dalil tersebut terbagi menjadi dua, yaitu aqli murni (rasional), sam’i murni (tekstual) dan gabungan keduanya”.
Imam al-Amidi mencontohkan dalil akal murni (aqli mahdl) dengan kebaruan alam, yakni alam adalah makhluk yang diciptakan, sehingga semua yang diciptakan adalah baru (hadis). Sedangkan saat mencontohkan sam’i murni, Imam al-Amidi menyebut beberapa sumber, yakni Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Adapun contoh perpaduan antara aqli dan sam’i adalah menghukumi nabidz (wine) sebagai sesuatu yang haram karena berlandaskan pada hadis, “setiap memabukkan adalah haram,”. Walaupun dalam hadis tersebut tidak disebutkan secara langsung bahwa wine itu haram, akan tetapi dampak yang ditimbulkannya sama, yakni memabukkan. Dalam hal inilah akal dan sam’i digunakan.
Dari penjelasan dan beberapa contoh diatas, kita bisa sedikit memahami bahwa akal tidak bisa berdiri sendiri untuk memutuskan hukum. Karena akal juga membutuhkan teks-teks keagamaan yang bisa diproses untuk menghasilkan hukum yang tidak disebutkan secara langsung dalam teks keagamaan (nash). Walaupun istilah Aqli dan Naqli ini lebih sering kita temukan dalam pembahasan tauhid.
Dalam Ushul fikih kontemporer Dalil Aqli ini digunakan untuk sumber-sumber yang tidak didapatkan dalam sam’iy mahad (Al-Quran, hadis, ijma’ dan qiyas) sebagaimana disebutkan al-Amidi atau bisa disebut Naqli dalam kajian ilmu tauhid.
Badruddin az-Zarkasy, jauh sebelum munculnya penyebutan Dalil Aqli untuk hukum-hukum yang tidak didapatkan dari Sam’iy Mahad, telah menyebutkan sebuah istilah yang ia namakan sebagai istidlal. Hal ini juga disebutkan oleh Al-Amidi dalam al-Ihkam-nya sebagai berikut:
عِبَارَةٌ عَنْ دَلِيلٍ لَا يَكُونُ نَصًّا وَلَا إِجْمَاعًا وَلَا قِيَاسًا.
“(Istidlal) adalah ungkapan untuk menunjuk setiap dalil selain nash (al-Qur’an dan Sunnah), Ijma’, dan Qiyas.”
Dalam istidlal inilah yang menjadikan akal sebagai pokok piranti untuk menghasilkan hukum, beberapa di antaranya adalah Istihsan, Istishab, dan Maslahah Mursalah, namun lagi-lagi, hasil dari hal-hal tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran, Hadis, Ijma dan Qiyas.
Artinya, orang seperti Sugik Nur yang masih memiliki akal sehat dan tidak gila (walaupun ini masih diragukan) bisa saja menggunakan Dalil Aqli untuk berfatwa asalkan, ia terlebih dahulu mengerti dan memahami seluk beluk hukum yang ia fatwakan di seluruh sumber Sam’iy Mahadl atau Naqli, yaitu Al-Quran, hadis, ijma’, qiyas. Masalahnya, ia saja tidak mengerti hal itu semua, alih-alih mengerti, membaca kitab saja ia tidak bisa.
Lagi-lagi, akal tidak bisa berdiri sendiri untuk memproses sebuah hukum, dibutuhkan penguasaan beberapa sumber yang muttafaq di atas. Jika Sugi mengatakan bahwa bertanya kepada para jamaahnya terkait sebuah hukum, kemudian jawaban tersebut dianggap sebagai Dalil Aqli tentu ini salah besar, karena buktinya ia tidak mampu mengakses sumber-sumber hukum yang disepakati sebelumnya yang harus ia lalui sebelum menuju ke dalil aqli itu.
Jika Sugi ingin pernyataannya lebih keren, agar tidak terlihat bodoh, ia bisa menggunakan “Dalil Sualiyah”, yaitu dalil pertanyaan (ini dalil buatan ala Sugik, tidak ada dalam literatur Ushul Fikih). Karena tidak ada hubungannya jawaban dari pertanyaan Sugi kepada jamaahnya dengan Dalil Aqli yang disebutkan dalam literatur keislaman.
Wallahu A’lam.