Abu Hanifah menghabiskan masa mudanya di pusat hiruk pikuk wirausaha. Dia nyaris tidak pernah alpa membantu ayahnya berjualan sutera di pasar. Dari sana dia berkenalan dengan banyak pedagang di Kufah. Dia acap kali berbincang-bincang bersama mereka tentang berbagai hal seputar wirausaha. Itu yang membuatnya paham betul kontur pasar serta seluk beluk dan kebiasaan para pedagang di sana.
Pada suatu hari, selagi perjalanan menuju pasar, Abu Hanifah berpapasan dengan seorang ahli fikih bernama Imam al-Sya’bi. Sang imam menegurnya dan menyarankan untuk banting fokus belajar ilmu agama dan bergumul bersama para ulama. Saat itu Abu Hanifah sempat menampik saran itu dan mengaku tidak berminat.
Namun, seiring gelinding waktu Abu Hanifah muda akhirnya berubah pikiran. Setelah Imam al-Sya’bi terus-menerus membujuk dan meyakinkan bahwa di dalam diri Abu Hanifah terdapat potensi megabesar berupa kecerdasan dan daya ingat yang kuat.
Sejak menjatuhkan pilihannya mendaras agama, benar Abu Hanifah mencurahkan segenap perhatian dan tenaganya terhadap ilmu. Kesehariannya yang semula banyak dihabiskan di tengah pasar, kini dominan dia pergunakan ber-mujalasah bareng ulama di masjid Kufah. Dia tekun mengikuti berbagai halakah (pengajian ulama) yang terselenggara di tempat itu. Antara lain, halakah kalam (ilmu tauhid), halakah Alquran, hadis, dan ilmu fikih.
Abu Hanifah kian asyik masyuk dan makin haus akan ilmu. Dia belum merasa puas dengan hanya menuntut ilmu di kota kelahirannya. Dia pun menjalani rihlah ilmu sampai ke kota Bashrah. Ketajaman nalar dan kekuatan daya ingatnya yang di atas rata-rata sebagai modalnya. Di samping, gelora jiwa muda dan kegemarannya berdebat kala itu.
Dia berguru kepada banyak ulama di setiap bidang ilmu yang ditekuninya. Dalam bidang hadis, misalnya, dia meriwayatkan hadis dari Atha’ ibn Abi Rabah, Nafi’ (mantan budaknya Ibnu Umar ra.), Qatadah, dan Hammad ibn Abi Sulaiman.
Selain itu, tercatat bahwa Abu Hanifah seorang diri merawikan total 215 hadis. Bahkan, Abul Mu’abbad Muhammad ibn Mahmum al-Khawarizmi (w. 650 H) berhasil mengumpulkan 15 musnadnya Abu Hanifah menjadi sebuah kitab yang mencapai lebih kurang 800-an halaman berukuran besar. Kitab tersebut dicetak di Mesir pada tahun 1326 H.
Adapun Hammad ibn Abi Sulaiman juga jadi gurunya pada ranah ilmu fikih. Abu Hanifah nyantri padanya selama 18 tahun. Selain Syekh Hammad, dia juga ngaji fikih kepada Ibrahim al-Nakha’i dan al-Sya’bi. Seterusnya dia belajar pada Syuraih al-Qadhi, Alqamah ibn Qais, dan Masruq ibn Ajda’. Ketiganya meraup ilmu fikih langsung dari sahabat Abdullah ibn Mas’ud ra. dan sayidina Ali ibn Abi Thalib krwh.
Aktivitas keilmuan yang digelutinya tidak sepenuhnya menarik diri Abu Hanifah dari dunia wirausaha. Dia konstan menyempatkan diri bergelut dengan usaha berjualan sutera warisan mendiang ayahnya. Tapi, padatnya skedul halakah dan kenikmatan ilmu mereduksi porsinya berpreuner. Dia jarang lagi ke pasar. Urusan dagangnya lebih banyak dilimpahkan ke pedagang lain, entah itu melalui akad wakalah, murabahah, ataupun musyarakah.
Kendati begitu, Abu Hanifah tetaplah potret saudagar inovatif dan piawai membaca market. Tentu itu terbentuk atas pengalamannya yang berwirausaha sejak muda. Nah, itu sekaligus berdampak tajam pada paradigma ijtihadnya terhadap kasus-kasus yang bergulir di masyarakat. Alhasil, putusan hukum dan pendapat-pendapatnya tidak terimpresi kaku dan rigid, namun justru populis.
Itu terbukti dari manhaj (metode pijakan) Abu Hanifah yang memutuskan hukum berasas pertimbangan ‘urf (tradisi masyarakat) dan istihsan. Manakala istihsan didasarkan pada kemaslahatan yang merujuk terhadap nash syar’i (Alqur’an dan hadis), maka ‘urf dapat pula menyingkirkan qias (analogi) jikapun bertentangan dengan keputusan hukum yang berdasar istihsan.
Wallahu A’lam.