Bagaimana Sugik Nur membuat orang geram akibat ulahnya? Salah satu alasan saya kuliah di Jakarta supaya bisa ikut audisi da’i. Pas waktu lulus aliyah saya lagi demen-demennya pidato. Selama menunggu tanggal masuk kuliah, saya bahkan secara khusus kursus ceramah ke bapak saya. Menimba humor-humor segar ala NU. Begitu juga dalil-dalil penting yang harus ada dalam ceramah.
Lumayan juga pusingnya. Saya harus menghafal 40 hadis Arbain Nawawi, ayat penting dan beberapa kaidah ushul fiqh. Tapi tolong jangan ditanya lagi sekarang. Sudah banyak yang lupa.
Namun, setelah masuk kuliah di UIN, minat ikut audisi da’i itu luntur. Saya beralih kepingin jadi guru ngaji. Mengajar alif ba ta. Lebih kurang setahun saya jadi guru ngaji privat.
Saya berhenti menjadi guru ngaji setelah menyadari kelakuan saya semakin buruk. Salat bolong-bolong, puasa Ramadan tidak lagi penuh dsb. Seperti kata kiai saya di pesantren Denanyar dulu, sebelum mengajarkan agama sebaiknya membenahi diri sendiri. Karena, amar ma’ruf ke orang lain harus dibarengi nahi munkar ke dalam diri sendiri.
“Aja diwalik, cung. Supoyo awakmu iso rumongso. Ora rumongso iso,” kata Kiai Imam Haramain.
Maka, saya putuskan memperbaiki diri sendiri terlebih dulu. Daripada selalu merasa benar dan mendakwa orang lain sebagai salah atas nama amar ma’ruf nahi munkar. Susah memang. (Baca juga: Kekeliruan Sugik Nur dalam Memahami Surat Al-A’raf)
Hari ini saya merasa pesan kiai saya itu relevan kembali, setelah berkeliaran di linimasa berita seorang bernama Sugi Nur alias Gus Nur yang berdakwah dengan konten salah.
Dia menyuruh jamaahnya melihat surat al-Isra ayat 176. Padahal ayat surat itu hanya 111. Benar saja, yang dia baca adalah surat al-A’raf 176.
Husnuzon saya, dia saat itu sedang lupa. Dalam Islam, orang lupa tidak terkena hukum. Jadi harus diingatkan saja, lalu dimaafkan.
Berhubung hujatan kepadanya di linimasa ternyata sangat banyak, saya jadi kepo kejadian aslinya. Saya telusuri berita ini dan akhirnya menemukan video ceramah aslinya.
Benar, dia salah kutip. Dia baca surat al-A’raf. Bukan al-Isra’. Saya tidak ada masalah soal itu. Yang bikin saya geregetan dan menurut saya tidak tepat, adalah ia menggunakan ayat tersebut sebagai pembenaran mengolok pendukung Jokowi sebagai cebong. Sebuah hal yang diprotes salah satu ibu-ibu jamaahnya. Sudah begitu, rupanya ayat tersebut sengaja dipotong.
Saya jadi ingat dawuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib tentang kebiasaan kaum Khawarij. Kalimatul haq uriduha biha al bathilu. Menggunakan kalimat yang haq (al-Quran dan hadist) untuk tujuan kebatilan. Maka, nilainya batil. Apalagi disertai pemotongan ayat yang bagi banyak ulama dosa karena mempermainkan kalamullah.
Saya jadi paham kenapa dia begitu dikecam.
Rupanya, ada video lain juga. Isinya dia berceramah menyebut Islam Nusantara yang digaungkan NU sesat. Melenceng dari Islam. Saya tak masalah dengan pendapatnya itu. Barangkali pandangan keagamaannya memang berbeda dengan NU. Dalam Islam, perbedaan pandangan dibenarkan kok. Malah dipandang sebagai rahmat.
Islam, seperti dikatakan Nasr Hamid Abu Zaid, memang darun nash. Peradaban teks. Maka, sangat mungkin antara ulama satu dengan lainnya punya penafsiran berbeda terhadap suatu teks dalam berijtihad dan membuat fatwa.
Hanya saja, yang harus dicatat tebal, adalah dalam menafsirkan teks, alih-alih membuat hukum dan pandangan keagamaan, mestilah seseorang tersebut menguasai dasar-dasar keilmuan agama yang cakap. Seperti tata bahasa Arab, ilmu usul fiqh, mustalahul hadis, mantiq, tasawuf dll. Biar tidak ngawur.
Bahkan, dalam mukaddimah kitab Jurumiyah fi Ilmi Lughotil Arabiyah–sebuah kitab dasar tata bahasa Arab yang mafhum digunakan di pesantren, dikatakan bahwa seorang yang menafsirkan al-Quran tanpa menguasai ilmu tata bahasa Arab, tempatnya berada di neraka paling dasar. Itu hanya menafsirkan loh ya, belum sampai membuat hukum. Apalagi sengaja memotong ayat tertentu untuk satu pembenaran kebatilan.
Masalahnya, adalah ketika ada seorang pemuda bertanya dasar pandangannya, Sugi tidak bisa menjawab. Ia mengaku tidak tahu ushul fiqh atau ilmu hukum Islam lainnya yang digunakan dalam membuat dasar pernyataannya. Sebaliknya, ia memilih jalan pintas bertanya ke jamaah lainnya, apakah Islam Nusantara layak disebut sesat? Dan, jamaah lain yang fanatik padanya dan mungkin hanya mendengarkan ceramahnya saja, menjawab layak. Seolah jawaban itu cukup menjadi pembenaran. Malahan jamaah lainnya mempersekusi pemuda tersebut.
Sampai di sini saya sekali lagi paham kenapa warganet menganggapnya sedang melakukan ujaran kebencian melalui ceramahnya.
Lepas dari semuanya, jangan sampai kesalahan-kesalahan Sugi membuat pengkritiknya merasa paling benar. Rumongso iso. Meskipun dia jelas salah. Tidak perlu juga mempersekusinya dengan celaan dan ancaman. Karena itu hanya akan membuat tiada beda dengannya.
Terimakasih, sekadar mengingatkan.