Puasa sah jika telah memenuhi syarat dan rukunnya serta meninggalkan hal-hal yang membatalkannya (mubthilat). diantara yang membatalkan puasa adalah inzal (ejakulasi, keluar mani), dengan catatan hal iu terjadi ‘an mubasyarah atau akibat persentuhan fisik, seperti mencium, saaling menggenggam tangan, dan lain-lain.
Jika ejakulasi terjadi bukan karena persentuhan (‘an ghair mubasharah) semisaal karena pandangan atau lamunan, maka hal itu tidaklah membatalkan puasa. Begitu juga jika ejakulasi diperoleh sebagai akibat mimpi basah (ihtilam).
Dari keterangan di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa puasa tidak batal karena menonton film porno meskipun sampai terjadi ejakulasi. Tetapi batalnya puasa hanyalah satu aspek dari dua aspek lainnya, yaitu menonton film porno dan puasa, memiliki aspek hukum dan moral yang terpisah dari masalah sah tidaknya puasa.
Pornografi tidak mungkin dilepaskan dari perzinahan, baik dalam proses produksinya, maupun sebagai akibat yang ditimbulkannya. Sedangkan zina itu sendiri adalah perbuatan yang sangat dikutuk dan dilarang oleh agama. Sedangkan terlarangnya zina, sehingga Allah Swt. tidak hanya melarang melakukannya, tetapi bahkan melarang mendekatinya.
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS.Al-Isra’: 32).
itupun masih ditambah dengan keterangan, “sungguh, zina adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” Maka sempurnalah keharaman perbuatan nista ini.
termasuk dalam larangan ini adalah pornografi, karena pornografi adalah titik potensial yang menghubungkan seseorang dengan perzinaan. Ini mengikuti kaidah “ma adda ila al–haram fa hua haram” (segala sesuatu yang mengantar kepada hal yang haram maka hukumnya juga haram) dan kaidah lain yang bermakna serupa adalah: “li al-wasa-il hukm al-maqashid” (terhadap pendukung, pendorong, penyebab suatu perkara diberlakukan hukum yang sama dengan perkara yang dihasilkannya). Tetapi, tidakkah berlebihan kalau menganggap pornografi sebagai pendorong perzinaan.
Tentu saja tidak semua perzinaan diakibatkan oleh pornografi sebagaimana tidak semua pornografi mengakibatkan (secara langsung) perzinaan. Tetapi barangkali kita dapat mengambil kasus-kasus kejahatan seksual sebagai indikator.
Sepuluh tahun yang lalu misalnya, pornografi tentu teah ada tetapi tidak semudah, sebebas, dan seluas peredarannya saat ini. Sejalan dengan itu, dalam waktu yang sama kejahatan seksual juga sangat meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
di sisi lain, tidak pantas rasanya berpuasa tetapi melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama, apabila hal itu juga mmepunyai potensi merangsang serta membangkitkan gairah seksual. Sedangkan gairah seksual itu sendiri adalah perwakilan absolut nafsu, sesuatu yang seharusnya justru menjadi sasaran ibadah puasa untuk ditaklukan dan dikendalikan.
Lagi pula, ada sebagian ulama yang menganggap puasa tidak hanya sekedar pengekangan diri terhadap hal-hal fisik atau biologis (makan, minum, seks) semata. Lebih dari pada itu, dalam berpuasa seseorang dituntut untuk bisa menjaga pancaindera serta segenap anggota badan lainnya untuk tidak terjatuh dalam segala bentuk maksiat dan perbuatan rendah.
Kita tentu tidak ingin seperti orang-orang yang digambarkan Rasulullah Saw. dalam hadits tentang mereka yang melakukan puasa tetapi tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan dahaga, karena sesungguhnya mereka tidak melakukan puasa kecuali dalam hal tidak makan dan minum.
Sumber: K.H. M.A. Sahal MAchfudz, Dialog Problematika Umat, hal.116-117, Khalista, Surabaya,