Hari ini Nahdlatul Ulama (NU) memasuki umur yang ke 93. NU dilahirkan pada tahun 1926 silam telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberagamaan dan kebangsaan untuk negara ini. Bersama dengan Muhamamadiyah, NU selalu konsisten menjaga stabilitas sosial dalam masalah keagamaan.
NU telah memiliki pengalaman yang panjang di Indonesia. Menjadi salah satu ormas yang besar di Indonesia, bahkan dunia, menjadi tantangan dan harapan tersendiri bagi NU. Di umur umur yang bisa dibilang tua, NU seharusnya menjadi contoh bagi ormas-ormas lainnya. Konsistensi NU dalam mengawal sikap moderat dalam arena Islam Indonesia seharusnya dijadikan contoh yang baik bagi kelompok lainnya.
Tentu di umur yang tua ini, NU memiliki tantangan yang jauh lebih besar ketimbang sebelum-belumnya. Tantangan ini harus mampu dikelola dengan baik untuk menjaga konsistensi sikap moderat.
Tantangan pertama ialah terkait usaha NU untuk mempertahankan posisinya sebagai ormas moderat, kedua upaya NU dalam menjaga netralitas dalam berpolitik.
Tantangan pertama adalah bagaimana cara NU mempertahankan legitimasi dan posisinya sebagai ormas moderat ketika berhadapan dengan ormas radikal. Meskipun NU telah mapan dengan tradisi, akan tetapi tidak luput dari serangan-serangan kelompok yang menganggap bid’ah, atau anggapan negatif lainnya.
Untuk menjaga legitimasi dan posisi NU sebagai ormas moderat di Indonesia bisa dilakukan dengan dua strategi. Pertama, strategi rekonversi. Strategi ini melibatkan adanya pertukaran modal yang dimiliki oleh NU.
Modal yang telah dimiliki oleh NU di antaranya; modal simbolik berupa diakuinya sebagai ormas moderat; modal sosial berupa relasi dengan penguasa yang begitu harmonis; modal kultural berupa pendidikan Islam klasik yang hingga hari ini masih eksik, yaitu pesantren.
Dari ketiga modal tersebut bisa dipertukarkan satu sama lain untuk mempertahankan legitimasi dan posisi yang sudah diraih. Bahkan dengan strategi ini juga, NU bisa memperlebar sayapnya dengan tetap menjaga konsistensinya. Semakin banyak modal yang terakumulasikan, semakin besar peluang NU untuk mempertahankan dan memperlebar pengaruhnya sebagai ormas moderat di Indonesia.
Selanjutnya strategi reproduksi. Strategi ini dilakukan dengan cara memutar memori kolektif setiap anggota. Memori kolektif yang dimaksud adalah terkait dengan persoalan perjuangan NU dalam merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, dan mempertahankan citra sebagai Islam moderat di Indonesia.
Wacana-wacana tersebut kemudian direproduksi ulang untuk mengingatkan kepada seluruh anggota atau orang di luar NU bahwa NU mampu berjalan secara konsisten dalam jalur Islam moderat.
Namun yang sulit ialah menjawab persoalan yang kedua terkait netralitas NU dalam politik. Jauh sebelum Indonesia masuk era reformasi, Gus Dur dan Kiai Achmad Shiddiq telah mengembalikan NU ke jalur kultural. NU tidak lagi berpartisipasi secara aktif dalam politik. Hal ini menjadi semangat baru bagi kalangan NU untuk bergerak ke jalur yang lebih luas lagi.
Namun yang nampak terlihat saat ini adalah adanya ambivalensi dalam tubuh NU sendiri. NU sadar bahwa ia bukan partai politik, akan tetapi NU secara tidak sadar hari ini NU sudah terlibat dalam politik. Ini menjadi semacam kritikan bagi NU sendiri apakah jalur yang diupayakan Gus Dur dan kawan-kawan pada saat itu akankah hilang secara perlahan-lahan.
Kritikan ini juga untuk memperbaiki citra NU sebagai lembaga keagamaan bukan partai politik. Artinya, netralitas NU sangat dibutuhkan untuk menjaga legitimasi dan posisi yang sudah dicapai. Jangan sampai tindakan ambivalen ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal sehingga menyebabkan kekaburan makna antara radikal vs moderat.
Di tahun yang ke 93 ini, NU tentu memiliki pengalaman yang panjang. Semua pengalaman ini penting untuk dijadikan pelajaran supaya kekurangan di tahun-tahun sebelumnya bisa diperbaiki, dan semakin konsisten NU berada dalam jalur moderat maka Indonesia juga akan semakin kuat.
Selamat ulang tahun Nahdlatu Ulama ke 93.