Seminggu yang lalu, tepat di hari perayaan Deklarasi DUHAM ke 70 tahun, kota kelahiran saya, Banjarmasin beserta kota lainnya di Indonesia memperoleh predikat Kota Peduli HAM dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Predikat ini merupakan hasil perjuangan dari pemerintah kota yang berusaha memenuhi sekitar 80 lebih variabel, dan semuanya menyangkut kelayakan kota untuk memenuhi hak dasar kemanusiaan.
Jika ditelisik lebih dalam, predikat ini bukanlah sebuah prestasi. Sebab, dalam deklarasi hak asasi manusia yang sudah berumur 70 tahun tersebut, pemenuhan hak warga atas kota yang layak atas penilaian kemanusiaan diletakkan tanggung jawab tersebut kepada pemerintah atau negara. Jadi, sudah menjadi sebuah menjadi kewajiban akan kehadiran Negara dalam pemenuhan hak asasi setiap warganya. Bukankah memenuhi kewajiban tidak perlu diganjar hadiah, oleh sebab itu namanya bukanlah prestasi namun predikat. Jadi semua kota di seluruh Indonesia sudah seharusnya, bahkan wajib berusaha mencapai predikat tersebut.
Menelisik pada predikat kota peduli HAM ini menjadi menarik jika dilihat dari kacamata teori ruang dari Henri Lefebvre, sosiolog cum filsuf asal Perancis. Menurut Lefebvre, ruang adalah produk sosial. Jadi, ruang bukanlah seperti apa yang kita pahami selama ini yaitu realitas yang independen. Lefebvre memahami ruang tidak akan pernah ada “sebagaimana adanya”, ia diproduksi secara sosial. Dalam sebuah ruang, ada banyak hal yang berkelindan di dalamnya, seperti ekonomi, agama, politik, budaya, dan teknologi.
Lefebvre memandang ruang merupakan suatu yang vital bagi sosial masyarakat. Inilah yang membuat Lefebvre juga melihat pentingnya unsur manusia, seperti pengetahuan dan pengalaman, dalam proses memahami ruang. Oleh sebab itu, Lefebvre menjelaskan ada tiga karakter yang harus dipahami untuk menjelaskan relasi berbagai hal dalam membentuk “ruang”.
Pertama, ruang yang bisa diakses dengan panca indera. Saat ruang bisa diakses melalui kasat mata, maka di sini awal dari praktik sosial dalam memaknai ruang. Kedua, ruang yang dipersepsi melalui pikiran. Sehingga, pemahaman akan ruang dilahirkan dari produksi pengetahuan. Dan ketiga, ruang yang diproduksi dari pengalaman manusia.
Dimensi ini merujuk pada ruang sebagaimana yang dialami oleh manusia. Ketiga dimensi inilah, dalam pandangan Lefebvre yang mewarnai pemaknaan kita pada sejarah manusia dan perkembangannya.
Menurut Lefebvre, sejarah adalah sejarah ruang, di mana manusia akan mengalami dialektika dalam memaknai ruang yang rentan pada bias-bias ideologis. Inilah sebabnya, kita harus memahami bahwa kota adalah sebuah representasi. Kota tidak bisa lagi dilihat sebagai sebuah benda dengan batas-batas yang jelas tanpa ada representasi kultural manusia. Melalui representasi-representasi inilah, yang memberi makna pada tempat-tempat, bersifat politis karena mereka terkait dengan konsep-konsep normatif, sehingga terjadi pembagian spasial dalam kota.
Representasi-representasi pembagian spasial dalam kota tersebut bisa dipahami sebagai garis-garis simbolis hubungan sosial yang membuat orang memahami mengenai dunia lewat lingkungan yang dibangun. Namun, dalam sebuah kota, interaksi dan aktivitas adalah hal yang multidimensi dan representasi dialogis yang tidak hendak menyintesiskan atau mengatasi kontradiksi tapi menggabung-gabungkan dan merayakan keragaman suara-suara yang saling bertentangan.
Kota memang dipahami sebagai bagian dari dialogis yang sering tidak seimbang. Namun, jika melirik kasus terakhir yang terjadi di Yogyakarta dan Xinjiang, kita seharusnya memahami bahwa proses relasi kuasa terus mempengaruhi representasi yang terjadi di dalam sebuah ruang bernama kota.
Kota akhirnya tidak dipahami sebagai sebuah ruang publik yang bebas, namun disukai atau tidak kota akhirnya terus berdialog dengan semua representasi yang mempengaruhi akan pemaknaan sebuah kota. Sebagai ruang sosial, kota seharusnya bisa menjadi sebuah ruang terbuka dan menjadi tempat untuk hidup bersama dan menjadikannya tempat yang bebas dari segala jenis penindasan.
Kota menjadi tempat berbagi kehidupan bukan saling mengalahkan. Sehingga, apa yang terjadi selama ini dalam negoisasi yang timpang dalam membentuk kota, karena faktor-faktor seperti agama,ras, suku, warna kulit, dan lain-lain, yang membuat spasial (ruang) sendiri harus mulai dirubah. Kita harus membangun kota bisa memberikan ruang kehidupan kepada siapa saja, tanpa membeda-bedakannya dari sisi identitas.
Kembali ke kota-kota yang menerima predikat kota peduli HAM, belajar dari kasus Yogyakarta, semua kota tersebut harusnya belajar memberikan contoh bahwa kehadiran negara dalam menjamin seluruh umat beragama bisa beribadah dengan nyaman, tanpa harus terikat pada pertimbangan mayoritas-minoritas apalagi untung-rugi. Dari kasus Yogyakarta, kita harus belajar bahwa kemanusiaan seharusnya menjadi panglima.
Tus, menjadikan kemanusiaan sebagai panglima, kita akan memperoleh nilai-nilai yang akan menggiring kita kepada kebaikan bersama. Dalam kehidupan kota juga harus menjadikan kemanusiaan sebagai panah arah kompas, yang akan membawa kota tersebut menjadi kota yang layak dihuni oleh seluruh umat manusia. Di sinilah akan tercapai cita-cita Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin