Sebagai seorang pengguna Medsos, kita tentu pernah dihebohkan dengan meme “kalau capek kerja, ya nikah solusinya! Kalau capek kuliah nikah aja, biar ada yang nyemangatin,” meskipun meme itu sudah tidak viral lagi, tapi konten seperti itu masih banyak diposting berulang kali oleh akun-akun ultra konservatif. Seolah-olah nikah menjadi satu-satunya solusi masalah di dunia ini.
Nah sebenarnya, apa sih yang diharapkan setelah nikah? Nikah kan tidak segampang itu. Memang, nikah itu ibadah yang sanagat dianjurkan Rasulullah, tapi mbok ya jangan ditelan mentah-mentah, karena hukum nikah itu beda-beda, ada makruh, wajib, sunnah, bahkan haram.
Perbedaan hukum nikah bagi setiap orang dipengaruhi kondisi seseorang dan sifatnya khusus jadi gak bisa dihukumi secara umum. Nah dalam kitab karangan Sa’id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhabi Imam as-Syafii, membagi hukum nikah jadi lima.
Pertama, sunnah. Ini adalah hukum yang sesuai dengan hukum asal nikah. Hukum ini diperuntukkan bagi orang yang sudah mampu nikah, siap lahir dan batin. Lah kalau belum mampu? Puasa aja yee! hadis nya bisa dicek di Sahih Al-Bukhori nomor 4779.
Kedua, sunnah ditinggalkan, maksudnya orang tersebut dihukumi lebih baik tidak menikah. Hal ini berlaku bagi orang yang sebenarnya ingin nikah tapi belum mampu menafkahi istri secara lahir alias belum ada ongkos buat nikah dan kehidupan setelah nikah. Jika orang itu tetep nikah maka nikahnya dihukumi khilaful aula, yaitu lebih baik ditinggalkan.
Ketiga, makruh, seseorang yang memang tidak mau nikah, bisa jadi karena wataknya memang tidak mau menikah dan tidak memiliki kesiapan dan kemampuan lahir atau materi untuk nikah, maka tidak bisa dipaksa buat menikah. Kalau dipaksa menikah khawatir nanti hak dan kewajiban ketika menikah terbengkalai
Keempat, lebih utama tidak menikah, hal ini berlaku bagi orang yang sebenarnya mampu secara lahir tapi dia dalam kondisi belum merasa butuh untuk menikah karena sibuk menuntut ilmu misalnya atau yang lain.
Kelima, lebih utama menikah, yang nomer ini pastinya orang yang udah siap lahir dan batin, lalu dia tidak disibukkan dengan mencari ilmu atau lainnya.
Tapi hal ini harus dikembalikan kepada kesiapan dan kemampuan diri-diri masing. Misalnya, kamu sedang kuliah, tapi diri kamu sudah siap secara lahir dan batin untuk menikah, juga sudah difikirkan secara matang, berarti kamu termasuk kategori pertama.
Misalnya lagi, kamu udah siap lahir dan batin, dan sudah tidak ada kesibukan padat yang membuat perhatianmu terfokus kesana, kan lebih utama nikah jadinya. Yang penting sudah ada calon, kalau belum ada calonnya, mau nikah sama siapa, coba? Hehe
Perlu difikirkan juga bahwa nikah tidak hanya sebatas kamu dan dia, tapi tentang keluarga dan keluarga, cara mengelola uang, cara bekerjasama dengan orang lain, cara mendidik anak, dan mengelola emosi. Semua hal itu adalah modal yang sangat penting untuk menikah.
Kalau kita masih diposisi lebih utama belum menikah, ya lebih baik tidak perlu memaksa calon pasangan untuk buru-buru menikah, apalagi kalau kamu belum punya calon, lalu pengen cepet-cepet menikah, hingga dengan mudahnya menerima lamaran orang tanpa tau karakter orangnya, bisa bahaya, kan?
Karena menikah tidak hanya tentang indahnya resepsi dan romantisnya video wedding, tapi tentang komitmen kehidupan yang akan kamu jalani bersama si dia, serta mempertemukan perbedaaan keluarga kamu dan si dia.
Wallahu A’lam.