Puasa dengan Memperlambat Haid

Puasa dengan Memperlambat Haid

Seperti kita maklumi bersama, kewajiban puasa Ramadhan tidak berlaku atas perempuan yang mengalami haid. Berpuasa baginya tidak sah, dan justru hukumnya haram.

Puasa dengan Memperlambat Haid
Kewajiban melakukan ibadah berlaku bagi setiap muallaf, yaitu muslim atau muslimah yang telah dewasa (baligh) dan berakal sehat (‘aqil). Ketentuan ini berlaku umum dalam segala jenis ibadah.

Seperti kita maklumi bersama, kewajiban puasa Ramadhan tidak berlaku atas perempuan yang mengalami haid. Berpuasa baginya tidak sah, dan justru hukumnya haram. (Mughni Al-Muhtaj: I, 423).

Pemberian dispensasi (keringanan hukum) tersebut bisa dimaklumi. Pereempuan pada waktu hai atau menstruasi, secara fisik dan psikis tengah mengalami gangguan. Fisiknya cenderung lemah, dan pikirannya kurang konsentrasi. Tidak jarang, datangnya menstruasi disertai keluhan berupa rasa sakit dan mual.

Disamping puasa, shalat juga tidak diwajibkan kepada perempuan haid. Bedanya puasa di-qadha, sementara shalat tidak perlu.

Keringanan tersebut pada umumnya disambut dengan gembira oleh kaum hawa. Bagaimana pun, berpuasa pada saat haid tentu akan lebih berat. Tetapi bagi perempuan tertentu, hal itu justru disesali, sebab menghalangi puasa, yang berarti kehilangan kesempatan untuk beribadah. Meskipun kalau dipikir secara mendalam, meninggalkan puasa karena haid, juga merupakan ibadah tersendir, kalau diniati menjalankan perintah Allah Swt. (yang dalam kasus ini berupa larangan). Bukankah definisi larangan (haram) adalah sesuatu yang berdosa jika dilakukan dan berpahala jika ditinggalkan?

Berkat kemajuan ilmu farmasi, sekarang telah ditemukan obat untuk memperlambat haid. Dengan meminum obat ini, dimungkinkan seseorang perempuan tidak mengalami haid dalam jangka waktu tertentu. dari sini lalu muncul gagasan memperlambat haid dengan harapan dapat berpuasa sebulan penuh.

Meminum obat memperlambat haid, sejauh tidak membawa akibat negatif (diperlukan pendapat ahli dalam hal ini), tidak dipermasalahkan. Dan kalau obat itu terbukti efektif mencegah haid, puasanya juga sah prinsipnya, perempuan berpuasa dalam keadaan suci. Terlepas, apakah kondisi suci itu terjadi secara alamiah atau karena pengaruh obat tertentu.

Kesimpulan ini, merujuk pada kaidah usul fiqh: “ashl al-madharr at-tahrim wa al-manafi al-hill“, artinya: Sesuatu yang tidak dijelaskan status hukumnya oleh dalil agama, apabila bermanfaat hukumnya diperbolehkan, jika membawa madharat dilarang. (Qurrah al-‘Ain bi Syarah Waraqat Al-Haramain, 55).

Meskipun demikian, membiarkan siklus haid secaya alami saya kira lebih baik karena lebih aman. Pada ghalibnya, melawan fitrah atau peristiwa alamiah akan menimbulkan dampak negatif, sekecil apa pun dampak itu. Lagi pula, jika seorang perempuan berniat berpuasa jika tidak terhalang haid, insya Allah niat baik itu akan dicatat juga. Bukankah Rasulullah Saw, bersabda:;

Keabsahan amal tergantung pada niatnya. Dan setiap orang memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari).

Sumber: K.H. M.A. Sahal Machfudz, Dialog Problematika Umat. hal. 122-123, Khalista, Surabaya.