“Dhani merupakan musisi cerdas dengan talenta terbaik yang pernah lahir dari rahim Indonesia”.
Saya yakin sepenggal kalimat itu tidak ada satu orang pun yang membantahnya. Bersama 3 anak muda Suroboyo lainnya, ia mendirikan grup band Dewa pada tahun 1986. Nama itu merupakan akronim yang berasal nama masing-masing personelnya, yaitu Dhani Ahmad (keyboard, vokal), Erwin Prasetya (bass), Wawan Juniarso (drum) dan Andra Junaidi (gitar). Mereka semua ini berasal dari sekolah yang sama, siswa SMP Negeri 6 Surabaya. Debut album pertama mereka bertajuk Dewa 19 tidak hanya meledak di pasaran, melainkan juga menjadi semacam trendsetter.
Masih tertancap kuat di ingatan saya, bagaimana beberapa perempuan muda yang sedang duduk di bangku SMP membawa album kangen dan bercerita mengenai kerennya Dewa 19 saat mereka berada di Warung Burjo di pinggiran Timur Jakarta. Saat itu saya masih kelas 6 SD, saya hanya mendengarkan kekagumannya saja dari percakapan tersebut.
Beranjak Tsanawiyah (SMP) di Yogyakarta, saya mulai mengenal grup band ini, terutama karena mendengarkan sejumlah lagu-lagunya yang diputar oleh stasiun Radio-radio di Yogyakarta. Sementara itu, hiburan satu-satunya santri di Madrasah Muallimin Muhammadiyah selain jalan-jalan ke alun-alun setiap Jum’at pagi adalah mendengarkan radio. Radio yang menjadi batas menyenangkan saat di tengah pelbagai larangan lainnya.
Di Lagu Kangen, dari album pertamanya, menjadi lagu wajib di semua acara, dari ABG sampai tingkat mahasiswa. Jika ada yang tidak bisa menyanyikan lagu ini, sudah pasti dianggap kuper (kurang pergaulan). Berawal dari kesukaan ini, bersama teman-teman pondok, saya berusaha mencari album dewa lainnya. Tentu saja, bukan di toko musik, melainkan toko kaset klitikan di seputaran Malioboro, tepatnya di pintu keluar sebelah kiri Pasar Beringharjo.
Di emperan itu, saya bisa mencari kaset-kaset musisi Indonesia dan luar negeri dengan harga yang sangat miring. Berlomba-lomba dengan beberapa teman, saya juga ikutan mengoleksi album musisi Indonesia, dimana album Dewa 19 termasuk yang paling banyak diburu, baik itu album pertama Dewa 19 ataupun album kedua Terbaik-terbaik (1995).
Setelah satu tahun menjalani kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, lagu-lagu Dewa 19 masih saya dengarkan sambil tentu saja pesimis seiring dengan kembalinya grup band tersebut setelah mengalami perselisihan, baik itu dikeluarkannya Arie Lasso dan didepaknya Wong Akhsan sebagai drummer. Apalagi, sebelumnya, saya melihat album Pandawa Lima (1997), tidak hanya memiliki lirik-lirik lagu dengan pesan orisinal layaknya anak-anak muda yang tumbuh di penghujung ke jatuhan rejim Orde Baru yang bisa membicarakan cinta dan perasaan pada titik yang paling maksimal tanpa adanya intervensi agama, seperti dalam lagu Kirana.
Selain itu, proses beradaptasinya anak-anak muda Surabaya ini dengan lingkungan Jakarta yang baru membuat Ahmad Dhani bisa menjaga jarak dan melakukan proses refleksi yang mendalam seperti dalam lagunya Selatan Jakarta serta kamulah satu-satunya yang tampak membayangkan kehidupan cinta di atas perekonomian Indonesia yang begitu kokoh dan normal di bawah rejim Orde Baru.
Namun, rasa pesimis saya itu ternyata salah, justru Ahmad Dani sedang mengeluarkan jurus pamungkasnya dengan masuknnya Once sebagai vokalis dan Tyo Nugross sebagai Drummer. Seiring dengan maraknya buku-buku dan penerbit di Yogyakarta, proses penterjamahan karya-karya luar juga semakin banyak. Penterjemahan di antara karya-karya luar tersebut adalah buku-buku Jalaludin Arrumi dan Kahlil Ghibran.
Di sini, Ahmad Dhani juga termasuk orang yang menikmati sekaligus mengalami keterpaparan buku-buku terjemahan penerbit Yogyakarta tersebut. Salah satu penerbit yang sangat tekun dalam menerbitkan dua tokoh tersebut adalah Bentang saat dibawah kepemimpinan Buldanul Khurri.
Di sini, keterpaparan dan pengaruh terjemahan dua tokoh besar Sufi Islam dan Sastra ini terlihat dari lirik-lirik lagu yang diciptakan oleh Ahmad Dhani dalam Album Bintang Lima (2000) dengan membuang nama 19 dalam grup band tersebut. Semua lagu yang diciptakan tersebut beririsan dengan kalimat dan bait-bait puitik yang diciptakan oleh dua tokoh besar tersebut. Bahkan, ketika mendengarkan lagu tersebut, saya serasa sedang membaca karya Kahlil Ghibran dan irisan puitik sufi dari Rumi.
Adonan bacaan sekaligus kecerdasan musikalitas Ahmad Dhani dengan dua personal baru ini memberikan daya gedor yang berbeda dari sebelumnya. Tak ayal, di tengah mulai pulihnya Indonesia dari krisis 1998, album ini justru bisa mencapai penjualan 1, 8 juta kopi. Tingginya penjualan album ini sekaligus menempatkan nama Dewa sebagai salah satu grup band papas atas dan berbayaran manggung termahal di era tersebut.
Mengkristalnya ideologi Cinta ala Rummi dan Ghibran dalam diri Ahmad Dhani ini semakin kentara dalam kedua album Dewa ini, yaitu Laskar Cinta (2004) dan Republik Cinta (2006). Ideologi cinta ini juga berpengaruh kepada sejumlah bacaan Ahmad Dhani, salah satunya karya-karya yang ditulis oleh Quraish Shihab melalui Tafsir Al-Misbah juga sikapnya kepada paramiliter fasis seperti FPI. Ini tercermin dengan kasus yang dialami oleh Dhani dan Dewa-nya pasca manggung di salah satu stasiun televisi swasta. Saat itu Dewa manggung dan membawa dekorasi simbol dari Laskar Cinta tersebut yang berlafadzh Jalalah (Allah) dan dijadikan sebagai alas membuat Rizieq Shihab berang pada tahun 2005. Rizieq Shihab menganggap bahwa Ahmad Dhani dan Dewa telah menghina umat Islam dengan diinjaknya lafadzh tersebut.
Apalagi, menurut pentolan FPI ini, lagu-lagu Dewa tersebut juga tidak mencerminkan umat Islam. Melihat intervensi dari FPI tersebut, Ahmad Dhani pun meminta bantuan dan berlindung dibalik nama besar Gusdur (Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa), yang selama ini memang dikenal sebagai pembela minoritas. Menurut Gusdur itu hanya persoalan kecil dan teknis saja. Melalui perlindungan Gusdur inilah justru Ahmad Dhani berencana ingin menguggat balik FPI.
Namun, kecerdasan sekaligus kepintaran itu memiliki umurnya. Orang tidak bisa selamanya cerdas sekaligus pintar. Untuk menjaganya, ia harus membangun semacam ekosistem yang mendukungnya agar terus kreatif dan pintar sehingga bisa menghasilkan karya-karya yang berpengaruh untuk publik. Selepas bercerai dari Maya Estianti dan kemudian menikah dengan Mulan Jameela, kecerdasan dan kepintaran bermusik seorang Ahmad Dhani tampak surut.
Alih-alih kemudian bisa menciptakan sebuah lagu dan kemudian mempengaruhi publik seperti album-album sebelumnya di grup band Dewa, yang banyak dilakukan oleh Dhani justru lebih banyak mengarasemen ulang lagu-lagu dari Dewa yang dahulu pernah populer. Di tengah itu, keterlibatannya dengan politik dan kemudian bergabung dengan partai Gerindra justru membuatnya menjadi semacam provokator.
Hal ini terlihat dengan sejumlah twittannya di akun Twitternya. Terlihat bahwa sisi kecerdasan musikalnya hilang saat ia mengagitasi kebencian atas lawan politik yang tidak disukainya.
Akibatnya, simpati dan kekaguman orang kepadanya yang dahulu berlimpah sebagai orang cerdas yang pernah dilahirkan di Indonesia melalui sejumlah album Dewa berubah menjadi antipati.
Di tengah antipati tersebut, Dhani menjadi tersangka atas ujaran kebencian yang telah dilakukan di Jawa Timur dan dianggap mencemarkan nama baik. Memang, sebelumnya, ia juga pernah menjadi tersangka dalam 6 kasus lainnya. Namun, sebelum semuanya terlambat dan daya kecerdasan musikalnya hilang di tengah banyaknya penggemar Dewa yang menginginkan ia kembali untuk lebih totalitas bermusik, ada baiknya ia berhenti untuk berpolitik.
Dalam berpolitik, yang dibutuhkan adalah ketengilan sekaligus kebebalan untuk melakukan provokasi menjatuhkan lawan politiknya, seberapapun rendahnya kata-kata negatif yang diucapkan.
Sementara itu, dalam bermusik, yang dibutuhkan adalah kontemplasi, perenungan yang panjang, sekaligus perspektif yang jernih untuk melahirkan sebuah karya yang layak didengarkan orang sehingga mereka merasa menjadi bagian dari lagu dan musik yang diciptakan tersebut.