Pasca kejadian bencana alam beruntun yang melanda beberapa bagian wilayah Indonesia. Ada tren baru yang berkembang, yakni merelasikan bencana alam sebagai dampak dari budaya lokal yang tidak syar’i. Semisal sedekah laut, selamatan dan kesenian lokal. Hal tersebut terlihat dari apa yang menjadi headline di media arus utama.
Seperti kejadian gempa di Lombok yang dicocoklogikan dengan sikap politik TGB Zainul Majdi. Lalu, gempa Palu-Donggala yang oleh FPI disangkut-pautkan dengan penangkapan Nur Sugi alias Gus Nur, yang terbaru oleh beberapa orang, gempa di Palu-Donggala ditengarai sebagai akibat dari budaya larung laut. Tidak hanya itu saja, di Banyuwangi FPI mengatakan jika sedekah laut dan tari gandrung dapat menjadi stimulan bencana alam, seperti gempa dan tsunami. Bahkan pernyataan-pernyataan tersebut meluas, sampai di Cilacap dan Jogjakarta, jika kita jeli mengikuti timeline di media sosial.
Tren yang mengaitkan kearifan lokal dalam bentuk budaya, sebagai salah satu penyebab bencana alam, merupakan salah satu kebodohan yang terus dilanggengkan. Mana mungkin bisa dan relevan, tari-tarian, musik tradisional, sedekah dan sejenisnya, dapat mempengaruhi gerak lempeng bumi atau aktivitas vulkanis.
Dan, bayangkan juga sedekah laut atau selamatan sebagai ritual yang transendental, ketika dilakukan tiba-tiba terjadi deforestisasi, kekeringan, gempa dan tsunami. Itu terlalu mutakhir dan perlu kajian yang mendalam. Mungkin para ilmuan bisa menjadikannya tema penelitian, karena apa yang mereka narasikan merupakan sebuah apriori.
Bagi kita yang percaya akan iman dalam sebuah agama seperti Islam misalnya, di dalam Al-Quran sudah ada peringatan terkait adanya bencana. Seperti yang terkandung dalam surat Ar-Rum ayat 41-42 dan Al-A’raf ayat 56-58, yang kurang lebih berisi tentang peringatan dan himbauan manusia untuk menjaga lingkungan hidupnya.
Dalam konteks ini, ayat-ayat di atas sangat logis dan rasional. Di mana bumi ini memiliki nyawa dan hidup, ini terbukti dengan berbagai aktivitas bumi yang alamiah, seperti gerak lempengan bumi, aktivitas vulkanis berupa pergolakan magma. Lalu, ada pula aktivitas bumi yang berubah akibat dari campur tangan manusia, misal perubahan struktur ekosistem hutan, sungai dan tanah.
Perubahan-perubahan itu akan memiliki dampak yang cukup signifikan, adanya gempa bumi, erupsi gunung berapi dan tsunami, dipengaruhi oleh faktor alamiah yaitu siklus alam sebagai bagian dari kehidupan bumi. Selanjutnya, kejadian seperti tanah longsor, banjir, kekeringan dan perubahan iklim, merupakan salah satu perubahan alam yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.
Jika ditinjau dalam konteks Islam, maka dalam dalam surat Ar-Rum ayat 41 dan 42, Allah telah memperingatkan terkait kerusakan yang muncul dipermukaan akibat dari kelalaian manusia. Bencana yang muncul sebagai bagian dari aktivitas manusia yang mengabaikan lingkungan hidup. Manusia yang rakus dan tamak telah mendzalimi lingkungan hidup dan manusia, mereka benar-benar masuk dalam golongan Mufsidun yang gemar berbuat kerusakan dan maksiat.
Sementara dalam Surat Al-A’raf ayat 56-58 merupakan sebuah peringatan kepada manusia, agar senantiasa menjaga dan mengelola lingkungan hidup dengan bijak. Karena Allah telah menciptakan alam beserta isinya di bumi ini, tidak untuk dirusak atau dihancurkan. Melainkan untuk dipelihara dan dilestarikan, agar menjadikan manfaat bagi sekalian mahkluk. Inilah esensi rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam yang bisa diartikan sebagai keharmonisan. Jika harmoni ini dirusak maka akibatnya adalah bencana, tentu akan merugikan seluruh mahkluk ciptaan Allah.
Ketika memperbincangkan mereka yang mengaitkan bencana alam dengan kearifan lokal, seperti budaya-budaya yang sejatinya merupakan ilmu menjaga dan menghargai alam sebagai penyebab bencana, merupakan kesesatan berpikir yang cukup nyata. Kecuali kalau lokalitas tersebut dijadikan gerbang untuk merusak lingkungan, maka tuduhan itu akan sangat signifikan. Misal, sedekah untuk penggundulan hutan atau pendirian sebuah industri ekstraktif. Namun, jika tidak ada relasinya maka tuduhan itu sangat-sangat tidak dibenarkan.
Karena adanya bencana secara ilahiah maupun realitas akibat dari aktivitas bumi dan manusia. Maka dari itu ada tipologi bencana, seperti bencana alam tanpa campur tangan manusia dan ada karena campur tangan manusia. Daripada membuat pernyataan yang sesat dan menyesatkan, lebih baik mereka yang mengatakan bencana alam akibat dari sedekah laut, bumi, selametan dan budaya kesenian lokal untuk lebih konkret dalam bertindak.
Mereka seharusnya belajar lagi dalam memahami makna bencana itu sendiri, baik secara ajaran Islam maupun ilmu alam. Kemudian mengimplementasikan secara nyata dalam sebuah platform gerakan, misal Nahdlatul ‘Ulama yang mencetuskan Jihad Bi’ah atau suatu usaha untuk menyelamatkan lingkungan. Di mana lingkungan hidup semakin kritis akibat eksploitasi berlebih (ghuluw), tentu akan mengancam kehidupan manusia baik secara fisik maupun batin.
Tidak hanya itu saja, selain menyelamatkan lingkungan. Mereka bisa belajar mitigasi bencana, di mana budaya ini belum mengakar di masyarakat Indonesia. Akibatnya kita selalu shock jika ada bencana alam seperti gempa bumi atau tsunami, dampaknya korban-korban banyak berjatuhan. Budaya mitigasi inilah yang seharusnya dimasifkan, bukannya menyalahkan kearifan lokal dan budaya sebagai penyebab bencana.
Niscaya itu akan lebih bermanfaat daripada mempersoalkan hal-hal yang bias dan tidak signifikan. Tentu dampak dari ungkapan mereka akan meluas, tidak hanya menyesatkan khalayak secara luas, namun akan menimbulkan intoleransi yang berujung persekusi dan intimidasi. Seperti yang terjadi di Bantul, Jogjakarta, di mana sedekah laut dibubarkan oleh mereka yang intoleran.