Dunia politik tanah air saat ini diwarnai dengan banyak sekali hoaks dan fitnah. Hampir setiap hari ada hoaks baru. Sebuah hoaks bahkan bisa beranak pinak. Walau sudah dibantah, hoaks lama tetap digunakan sebagai ‘data pendukung’ untuk hoax baru. Saking ruwetnya jaringan hoax ini, membedakan mana berita palsu dan mana berita benar menjadi sangat sulit.
Mirisnya, produksi dan penyebaran hoaks sedemikian masif karena didukung oleh satu hal, yaitu adanya masyarakat yang menikmati hoaks. Hukum persediaan dan permintaan berlaku. Selama ada pihak yang mau mempercayai hoaks, maka hoaks akan selalu diproduksi.
Hal ini lalu dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak yang memang berniat untuk membohongi masyarakat. Mereka memanfaatkan kepolosan dan ketidaktahuan masyarakat untuk keuntungan diri mereka sendiri.
Tetapi kenapa ada masyarakat yang menikmati hoax, bahkan rela membela ‘kebenaran’ hoaks? Tidakkah mereka tahu bahwa narasi hoaks itu kebohongan belaka? Apakah mereka memang sebodoh itu sehingga mau dibohongi? Ataukah ada alasan lain?
Untuk menjawab hal ini, ada baiknya kita merenungkan kisah tragis seputar kebohongan di buku ‘Homo Deus’ karangan Yuval Noah Harari. Alkisah pada masa Perang Dunia I, para politikus Italia mengobarkan semangat perang warga negaranya agar mau menyerbu negara tetangga mereka, kerajaan Austria-Hunggaria.
Narasi yang digunakan untuk perang adalah propaganda bahwa penduduk Italia harus ‘membebaskan’ Trento dan Trieste, dua provinsi yang ‘seharusnya merupakan daerah Italia namun telah direbut secara tidak adil oleh Austria-Hunggaria’. Dengan narasi ini para politikus merekrut tentara dari masyarakat sipil Italia, lalu mengadakan penyerbuan.
Apa yang terjadi?
Italia mengalami kekalahan. Bukan hanya sekali, tapi sampai dua belas kali. Total dari dua belas peperangan itu, ada korban sebanyak 700 ribu pemuda Italia. Lebih parah lagi, bukannya berhasil merebut Trento ataupun Trieste, pada peperangan terakhir justru Italia yang porak-poranda oleh serbuan balasan lawan.
Tapi mengapa mereka tetap melakukan semua perang itu? Mengapa mereka tidak berhenti menyerbu, katakanlah, setelah lima kali kekalahan? Dan mengapa para orangtua tentara muda itu seolah tidak menyesali gugurnya nyawa anak-anak mereka demi perang yang gagal?
Menurut Harari, penyebabnya adalah ketakutan. Ketakutan terhadap apa? Dalam peristiwa ini, kita belajar bahwa manusia ternyata lebih takut kehilangan makna daripada kehilangan nyawa.
Jika politikus harus mengakui bahwa mereka telah menyebar propaganda bohong mengenai Trento dan Trieste, maka mereka juga harus mengakui bahwa semua tentara yang kehilangan nyawa telah mati sia-sia dalam sebuah petualangan politik palsu.
Lalu para orangtua juga harus mengakui bahwa anak-anak mereka mati sia-sia. Tak ada kejayaan, tidak ada kepahlawanan. Seluruh penyerbuan ini sepenuhnya kebodohan dan kebohongan belaka. Ternyata, hal ini lebih menakutkan daripada kehilangan 700 ribu nyawa. Karena itu, mereka tidak bisa mundur ataupun berhenti. Mereka terus-menerus mengorbankan diri, mengobarkan patriotisme, dan membanggakan kematian anak-anak mereka sebagai pahlawan.
Itulah sebabnya, mengapa hari ini kita menyaksikan begitu banyak narasi hoaks dipertahankan mati-matian oleh mereka yang mempercayainya. Karena jika mereka harus mengakui bahwa narasi itu palsu, mereka akan terpaksa mengakui kebodohan diri sendiri.
Mereka juga harus mengakui bahwa segala daya upaya yang mereka lakukan dalam mendukung narasi hoaks adalah sia-sia belaka.
Lebih celaka lagi, jika mereka mendukung narasi hoaks karena diming-imingi surga, maka mereka harus mengakui bahwa surga itu akan luput dari mereka.
Karena itu kita harus memaklumi jika para penikmat dan pendukung hoaks sulit sekali untuk berubah. Walau seiring waktu berlalu, narasi hoaks terbantahkan sendirinya lewat berbagai peristiwa, mereka tetap tidak mengubah pandangan mereka. Rupanya kehilangan makna/eksistensi diri jauh lebih mengerikan daripada kehilangan nyawa.