Di era media sosial seperti sekarang ini, seringkali penulis melihat video viral yang memperlihatkan seorang tamu undangan yang tampak sedih di acara resepsi pernikahan. Ternyata, pasangan yang menikah itu adalah mantan pacar dari tamu undangan tersebut. Yang membuat haru biru dan tampak kurang pantas adalah si ‘mantan’ tersebut menangis tersedu-sedu di pundak pengantin. Padahal, seyogianya hal itu tidak dilakukan.
Terlepas dari peristiwa tersebut, sebenarnya bagaimana hukum menikahi pacar orang lain? Apakah itu termasuk merebut pasangan orang lain?
Dalam ajaran Islam, larangan menikahi pasangan orang lain itu diatur dalam hadis Nabi saw. yang terdapat dalam kitab Sahih Muslim:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَر
“Seorang Mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain, maka tak halal bagi seorang mukmin membeli barang yang sudah dibeli saudaranya, dan tidak halal pula meminang tunangan saudaranya, kecuali pertunangan tersebut telah putus.”
Hadis di atas adalah satu di antara delapan redaksi hadis lain dalam bab Tahrim al-khitbah ‘ala khitbati akhihi. Berdasarkan hadis tersebut, hukum menikah dengan pacar orang lain itu boleh. Karena mekanisme pacaran berbeda dengan lamaran. Dalam pandangan Islam, hubungan yang pertama belum terikat kontrak, sedang yang kedua sudah.
Dengan perkataan lain, tidak perlu berlama-lama pacaran tanpa ada hubungan yang jelas. Segeralah tambatan hati itu dipinang, diikat dalam ketentuan agama. Jika tidak, nanti bisa saja dipinang dan dinikahi orang lain.
Selengkapnya, klik di sini