Salah satu persoalan sosial yang muncul beriringan dengan kemajuan dan perkembangan media sosial- seperti: facebook, twitter, whatsapps dan sebagainya- adalah hoax. Dalam bahasa Indonesia, hoax merupakan istilah/ kata serapan yang semakna dengan “berita bohong”. Hoax yang biasa diartikan sebagai upaya memperdaya banyak orang dengan sebuah berita bohong (deceive somebody with a hoax); memperdaya beberapa/ sekumpulan orang dengan membuat mereka percaya pada sesuatu berita yang telah dipalsukan.
Selanjutnya, bagaimana tuntunan Al-Quran al-Karim terkait dengan hoax? Terdapat beberapa ayat yang menyinggungnya secara langsung maupun tidak langsung. Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 6 merupakan salah satu ayat yang secara eksplisit memberikan tuntunan kita dalam menyikapi terhadap hoax.
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصيبُوا قَوْماً بِجَهالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلى ما فَعَلْتُمْ نادِمينَ (6)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 6).
Menurut Jawad Mugniah dalam at-Tafsīr al-Mubīn, ayat ini menunjukan dengan jelas tentang haramnya mengambil berita dari orang fasik tanpa melakukan klarifikasi (tabayyun) kebenarannya. Pengambilan berita dari orang fasik dikhawatirkan akan membahayakan bagi orang lain. Dalam istilah ushul fiqh, ayat ini juga menunjukan larangan untuk mengikuti tata cara orang-orang fasik.
Bersandar pada ayat ini, sebagian ulama juga berargumen kewajiban untuk mengambil berita dari orang yang terpercaya (tsiqah), tanpa harus melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Oleh karenanya, dalam kajian ilmu hadis, sebuah kabar hadis aĥad yang terpercaya (tsiqah)- hadis yang diriwayatkan hanya satu orang, tidak secara mutawātir sebagaimana ayat-ayat Al-Quran- dapat diterima dan bisa dijadikan sebagai argumen.
Ayat ini juga mengajarkan untuk mengenali tanda-tanda orang fasik? Fa-sa-qa atau fasik- sebagaimana disebutkan oleh Ibn Fāris dalm Maqāyis– adalah keluar dari jalur keta’atan. Demikian juga al-Mushtafawī dalam at-Tahqīq fī Kalimāt al-Qur’ān menjelaskannya sebagai keluarnya sesuatu dari hal-hal yang disepakati, baik secara agama, akal maupun hukum natural. Tandasnya, merujuk pada ayat-ayat Al-Quran maka yang dimaksud sebagai orang fasik adalah orang yang keluar dari ketentuan akal sehat, adab sopan santun dan agama.
Berangkat dari medan kosakata fa-sa-qa/ kefasikan tersebut maka medan semantiknya sangat luas. Oleh karenanya, sangat sulit menentukan seseorang yang belum kita kenali kredibilitasnya sebagai orang jujur.
Melalui Q.S. al-Ĥujurāt/ 49: 6, Allah swt memberikan tuntunan kepada kita agar bersikap hati-hati, tidak gegabah dan tidak tergesa-gesa dalam menerima sebuah berita, khususnya jika berita tersebut datang dari seorang yang sudah dikenali kefasikannya. Ayat ini juga mengisyaratkan agar kita selalu melakukan klarifikasi/ tabayyun saat menerima berita dari orang yang tidak kita kenali.
Ayat ini memberikan tuntunan kepada kita agar lebih berhati-hati dalam menerima maupun menyampaikan sebuah berita, apalagi berita tersebut menyalahi beberapa ketentuan yang sudah berlaku/ telah disepakati seperti ketentuan akal sehat, adab sopan santun maupun agama. Tuntunan agama agar kita menjadi orang yang lebih cerdas dalam bersikap. Berusaha untuk menyampaikan berita yang benar, bukan bohong/ hoax. Implikasi dari kesalahan dalam menerima maupun menyampaikan berita adalah menimbulkan dampak negatif, yakni: merusak sebuah tatanan masyarakat. “… Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Hal ini selaras dengan pesan-pesan yang terkandung dalam Q.S. al-Aĥzāb/ 33: 70-71. Yakni, segala kebenaran baik dalam sikap dan tutur kata- terliput di dalamnya kabar yang benar- akan lebih dekat kepada ketakwaan. Takwa merupakan penyokong kebenaran dalam berucap dan bertutur kata. Ucapan dan tutur kata yang benar akan menjadi salah satu sebab kebaikan tindakan. Selanjutnya, tindakan yang baik akan menjadi faktor/ sebab diampuninya sebuah kesalahan/ dosa-dosa kita.
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَ قُولُوا قَوْلاً سَديداً (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمالَكُمْ وَ يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَ مَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ فَقَدْ فازَ فَوْزاً عَظيماً (71)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (Q.S. al-Aĥzāb/ 33: 70-71).
Kerwanto, Penikmat Kajian Tafsir.