Hari ini, kita mungkin sering mendengar anak-anak mantan presiden membela ayahnya jika beberapa pihak berusaha “menyerang” prestasi dan capaian sang ayah ketika menjabat sebagai presiden.
Anak-anak presiden itu juga akan menyanggah, jika ada pihak yang mencoba berdalih membela kesalahan yang terjadi hari ini sebagai warisan dari kesalahan ayah mereka di masa lalu. Saat ini juga kerap kita temui, beberapa orang yang menganggap “kegagalan” kerja bahkan kesalahan yang dilakukan pemerintahan yang mereka dukung, hanya meneruskan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh para pendahulu mereka.
Ternyata hal itu tidak hanya terjadi pada zaman sekarang, sejarah mencatat bahwa hal itu juga sudah terjadi, bahkan di zaman para sahabat Rasulullah sepeninggal beliau. Pernah juga terjadi pada zaman sayidina Muawiyah ketika mengangkat Yazid putranya sebagai Khalifah sepeninggalnya.
Sahabat Muawiyah, dikenal dalam sejarah sebagai sosok yang kontroversial. Ia kerap dicaci oleh beberapa pihak, terutama kalangan Syiah yang menganggapnya zalim dan ingkar janji kepada Hasan, selain dianggap sebagai “perampas” hak-hak zuriyah Rasulullah, Hasan dan Husain.
Terlepas dari itu, beberapa keutamaan beliau didedahkan secara panjang lebar dalam kitab-kitab hadit. Terutama dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim. Kaum Ahlussunnah memutuskan untuk “tidak berkomentar” atas perselisihan di antara kibar, pembesar-pembesar sahabat Rasulullah SAW, tentang perselisihan sayidina Ali dan sayidah Aisyah, ataupun dengan Talhah dan Zubair, juga termasuk perselisihan sayidina Ali, Hasan, Husain dengan Muawiyah. Mereka memutuskan demikian agar menjaga diri dari berkata buruk tentang mereka.
Namun sejarah tetap sejarah yang harus dibaca dan dipelajari, minimal sebagai pengingat. Terutama ketika Muawiyah mengangkat Yazid putranya sebagai pengganti beliau. Dalam beberapa literatur, ini dianggap menyalahi kesepakatan Muawiyah dengan Hasan.
Hasan yang menerima baiat sepeninggal ayahandanya terbunuh, rela melepas jabatan Khalifah demi tekad mempersatukan umat Islam. Ia rela memberikan jabatan itu kepada Muawiyah, dengan beberapa syarat. Satu di antara syarat itu adalah, Muawiyah tidak akan mewariskan jabatannya kepada sang anak, namun memberikan hak kepada kaum muslim untuk memilih pemimpin atau khalifahnya.
Mendengar pengangkatan Yazid putra Muawiyah, Marwan bin Hakam, Gubernur Madinah berkhutbah di depan khalayak demi mendukung perintah Muawiyah, “Sesungguhnya Amirul Mukminin (Muawiyah) telah melihat kebaikan dalam diri anaknya, Yazid. Maka jika ia mengangkatnya sebagai khalifah, maka itu pula yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika mengangkat anaknya sebagai khalifah, itu mengikuti sunah dari Abu Bakar dan Umar.”
Mendengar hal itu, Abdurrahman putra Abu Bakar berdiri seraya berkata, “(Itu bukan sunah Abu Bakar dan Umar), itu adalah sunah dari Heraklius (penguasa Romawi) dan Kaisar Persia. Sesungguhnya Abu Bakar tak pernah mengangkat anaknya dan keluarganya (sebagai khalifah). Sesungguhnya Muawiyah berbuat demikian karena demi rasa sayang dan memuliakan anaknya.”
Mendengar penolakan Abdurrahman ini, Marwan yang tak mau kehilangan muka di depan umum menyerangnya dengan perkataan, “Bukankah engkau adalah orang yang mengatakan “cis” kepada ayahnya”. (Sebagaimana dimaksud dalam QS. Al-Ahqaf ayat 17). Abdurrahman pun membalasnya, “Bukankah engkau adalah orang terlaknat yang ayahnya adalah orang yang dilaknat Rasulullah”.
Mengkomentari perdebatan Marwan dan adiknya, Abdurrahman, Aisyah istri Rasulullah yang juga putri Abu Bakar membantah, “Marwan berdusta, ayat itu tidak diturunkan kepada Abdurrahman, tetapi kepada fulan bin fulan. Tetapi Rasulullah telah melaknat ayah Marwan (yakni Hakam), ketika Marwan masih di sulbi ayahnya. Artinya Marwan, adalah bagian dari laknat Allah itu.” Menurut beberapa riwayat, Rasulullah pernah melaknat Hakam ayah Marwan, yang ketika itu Marwan belum lahir. Bagi sayidah Aisyah, itu artinya Marwan bagian dari laknat itu.
Demikianlah, ternyata perdebatan politik yang melibatkan anak mantan presiden, dan juga memakai ayat untuk menyerang orang lain. Termasuk berkampanye dengan menyebut jelek pemimpin pendahulu, sudah ada sejak dulu. Semoga kita belajar mengambil hikmah.
Rujukan: Tarikhul Khulafa’, Imam Jalaludin As Syuyuthi.