Beberapa minggu ini perbincangan di linimasa media sosial diributkan soal bendera yang disebut oleh salah satu pimpinan organisasi masyarakat sebagai salah satu ikon atau bendera dari salah satu organisasi masyarakat yang sudah dicabut badan hukumnya, sebutlah Hizb ut-Tahrir Indonesia atau HTI, mendompleng salah satu gerakan yang juga sekarang ramai diperbincangkan yaitu tagar soal pemilihan presiden.
HTI mengklaim bahwa bendera hitam dan putih yang bertuliskan kalimat tauhid Laa Illaha Illa Allah wa Muhammad Rasulullah tersebut adalah “panji” umat Islam bukanlah bendera mereka. Oleh sebab itu, HTI menegaskan bahwa penolakan ormas atau seseorang atas bendera tersebut adalah bagian dari kebencian kepada kalimat tauhid, yang kemudian selaras dengan kebencian akan Islam itu sendiri. Perdebatan ini cukup mendapat atensi yang tinggi dari para netizen, baik menolak klaim dari HTI tersebut juga mendukungnya.
Persoalan ini sebenarnya muncul karena ada sebuah permainan tanda yang sedang dilakukan oleh HTI. Disadari atau tidak, klaim HTI memang terlihat sangatlah nyata dan terkesan logis. Kebanyakan masyarakat akan sulit menolak akan klaim HTI tersebut, disebabkan klaim tersebut dihiasi dengan anggapan bahwa penolakan panji tersebut sama dengan menolak Islam, di sinilah ketakutan itu sebenarnya.
Padahal jika kita mencoba meneroka pada permainan tanda yang dilakukan oleh HTI ini memang bagian dari mempromosikan gerakan mereka yang saat ini agak terkendala karena pencabutan badan hukum organisasi HTI.
Bagaimana permainan tanda soal bendera ini bisa sampai pada klaim penolakan kalimat tauhid? Menjawab pertanyaan ini memang seharusnya dilakukan dalam sebuah tulisan yang agak panjang. Tapi saya akan mencoba menjelaskan bagaimana permainan tanda ini bisa menyihir pikiran masyarakat untuk mendukung HTI dalam persoalan bendera ini, dan menolak dan menghardik mereka yang mengatakan bahwa ini adalah bendera organisasi terlarang dan harus ditolak.
Bendera hitam dan putih dan bertuliskan kalimat tauhid yang diributkan ini sebenarnya di Indonesia, diakui atau tidak, adalah bagian dari HTI. Sebab, sejak kemunculannya di kalangan kampus hingga sekarang bendera tersebut terus muncul dan dipergunakan dalam setiap aksi, acara dan kegiatan mereka. Jumlah yang banyak dan berbagai ukuran bendera tersebut selalu mendampingi HTI dalam setiap geraknya. Bahkan HTI beserta organisasi sayapnya selalu mencantumkan bendera ini sebagai bagian logo organisasinya. Oleh sebab itu, HTI sebenarnya sudah melegitimasi bendera tersebut adalah simbol perjuangan mereka.
Dalam buku Jihadi Culture The Art and Social Practices of Militant Islamist, Afshon Ostovar menuliskan sebuah bagian dari buku tersebut berjudul The Visual Culture of Jihad. Dia menuliskan bahwa simbol visual seperti bendera, logo juga emblem adalah bagian krusial dalam penyampaian pesan gerakan, walau tidak sama dengan teks. Benda visual bisa menyampaikan pesan dan meraih perhatian dari banyak kalangan melalui sebuah benda sederhana, bisa bendera atau logo, yang menyimbolkan sesuatu. Para penggiat islamisme seperti HTI sangat menyadari persoalan ini dan sangat giat melakukan ini, karena dengan memunculkan sebuah simbol yang kemudian melekat dalam pikiran banyak orang, mereka bisa menyampaikan pesan melewati keterbatasan bahasa.
Pesan ini kemudian terus diproduksi untuk mendapatkan dukungan dari jaringan pejuang yang sama, dan meraup dukungan dari masyarakat luas. Saat pesan visual ini diproduksi, harus memiliki tiga unsur penting dalam prosesnya, yaitu pembentukan identitas, promosi ideologi, dan disparitas rival.
Pesan visual dianggap berhasil apabila ide dapat diterima dengan cepat dan ringkas oleh orang yang melihatnya. Jadi, bisa kita sebut bahwa saat bendera itu ditampilkan, maka pesan yang berproses dalam otak mengambil kesimpulan adalah itu bendera simbol HTI.
Mungkin kesimpulan ini memang bisa dibantah oleh HTI, dengan menyampaikan bahwa itu bukan simbol mereka tapi simbol atau panji Islam. Andai ada bantahan seperti ini membuktikan bahwa HTI memang jelas memainkan identitas agar meraup simpatik dari umat Islam, sehingga mudah menyampaikan dan menyebarkan ideology khilafah milik mereka.
Dus, saat polemik soal bendera mencuat di media, baik itu media mainstream dan media sosial, ada persoalan yang luput dari pengamatan kita yaitu permainan tanda yang dilakukan oleh HTI. Permainan tanda yang dilakukan di sini merujuk pada apa yang disampaikan oleh Ferdinand de Saussure bahwa tanda (yang terdiri dari hubungan internal antara petanda dan penanda) beroperasi dalam dimensi yang fungsinya adalah mendenotasikan.
Sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), tetapi juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Inilah yang kemudian diperkaya oleh Roland Barthes dengan membedakan pesan visual dalam tiga pesan: pesan liguistik yaitu semua kata dan kalimat dalam pesan visual tersebut, pesan ikonik yang terkodekan yaitu konotasi yang muncul dalam sebuah pesan visual, terakhir adalah pesan ikonik yang tak terkodekan yaitu denotasi dalam pesan visual.
HTI dengan sangat baik memainkan pesan visual ini saat polemik bendera terjadi, namun ini dilakukan bukan pada saat sekarang saja, tapi hal ini sudah menjadi bagian dari perjuangan panjang HTI dalam memasukkan pesan tersebut dalam pikiran masyarakat muslim Indonesia.
Dengan meletakkan kalimat tauhid dan ditegaskan dengan hadis soal liwa (bendera) Rasulullah, HTI sudah menjadikan simbol gerakannya sama dengan liwa (bendera) Rasullullah tersebut sebagai bagian dari upaya untuk mengkodekan atau membuat pesan denotasi bahwa gerakan ini adalah gerakan yang sama atau mewakili gerakan Rasulullah, minimal seluruh umat Islam.
Padahal makna yang tersembunyi di dalamnya adalah HTI hanya mengambil legitimasi bahwa merekalah yang benar-benar mewakili Nabi Muhammad, sedangkan yang lain bukan bagian atau minimal melawan mereka atau tidak setuju dengan ajaran dari HTI, bisa disamakan dengan menentang Rasulullah dan benci kepada Islam. Padahal, ajaran yang disampaikan oleh HTI masih bisa diperdebatkan apakah benar sesuai dengan ajaran Rasulullah atau cuma sekedar klaim belaka.
Yang tidak dikatakan dalam persoalan bendera ini adalah HTI bukanlah representasi umat Islam yang menjalankan ibadah dan ajaran dari Nabi Muhammad, sehingga saat simbol mereka diklaim bendera terlarang maka bukan berarti kita membenci kalimat tauhid, tapi yang kita lawan sebenarnya adalah klaim sepihak dari HTI bahwa bendera yang selama ini disimbolkan kepada mereka bukan bendera atau panji Rasulullah sebagaimana yang sering HTI sampaikan.
Saat HTI memang mengambil posisi sebagai representasi umat Islam dengan menyamakan simbol yang ada dalam Islam. Namun, mereka tidak seharusnya menyatakan atau mengambil kesimpulan bahwa menentang atau mengkritisi ajaran atau simbol mereka itu tidak sama dengan menentang apalagi membenci ajaran Islam. HTI hanyalah satu dari sekian banyak perbedaan pandangan dalam sejarah Islam, harusnya ini bisa disadari kita semua. Tapi HTI tidak mau mengatakan ini, sebab ini akan memperlemah posisi mereka di mata umat Islam Indonesia.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin