Saat ini, di berbagai pengajian dan juga forum-forum sosial media, kita sering mendengar seseorang mengeluarkan hukum atau fatwa atas orang lain. Hukum itu bisa terkait halal-haram, atau fatwa terkait benar dan sesat. Ada banyak orang, tak terkecuali anak-anak muda, yang dengan bersemangat menghukumi temannya sebagai sesat atau kafir—dengan dalil yang kita tidak tahu dari mana.
Semua pendapat itu umumnya hanya didasarkan pada hujjah-hujjah yang didapat saat pengajian, dari ustadz-ustadz atau habib yang tidak diketahui apakah ia memenuhi syarat seorang pengambil putusan hukum (mufti) atau tidak. Karena dalam Islam, syarat menjadi sangat mufti berat sekali. Bahkan, akhir-akhir ini ada beberapa orang yang mengeluarkan kebijakan atau pendapat, kemudian menyebutnya sebagai fatwa.
Yusuf Al-Qaradhawi mengungkapkan bahwa Ifta’ (pemberian fatwa) merupakan penjelasan hukum syariat tentang suatu persoalan sebagai jawaban terhadap pertanyaan seorang penanya, baik yang jelas maupun samar, individu maupun kolektif. Oleh karena itu, sebuah fatwa bisa dikeluarkan jika ada seorang yang bertanya kepada individu yang mumpuni dan memenuhi syarat sebagai mufti ataupun lembaga kolektif, seperti Bahtsul Masail yang dimiliki NU, Majelis Tarjih yang dimiliki Muhammadiyah, dan Komisi Fatwa MUI.
Di kalangan ulama muslim ada sejumlah perbedaan dalam penentuan syarat seorang mufti individu, namun semua sependapat bahwa mereka harus menguasai Al-Qur’an dan Hadis. Menurut Imam Syafi’i, seorang mufti harus menguasai Al-Qur’an dan Hadis, nasakh-mansukhnya (dalil yang diralat dan yang meralatnya), takwil-tanzilnya, dan tentu saja asbabun nuzul (sebab/konteks turunnya) dan asbabul wurud (kronologi)-nya. Karena Qur’an-Hadis berbahasa Arab, maka seorang mufti juga harus pandai berbahasa Arab, demi menghindari salah tangkap terkait makna sebuah ayat atau hadis.
Selain syarat tersebut, seorang mufti juga disyaratkan dewasa, sehat akalnya, beragama Islam. Mufti juga harus menguasai persoalan-persoalan khilafiyah, memahami ushul fikih dengan baik, dan terpercaya serta jujur, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazi dalam kitab Al-Luma fi Usulil Fiqh.
Tanpa syarat-syarat di atas, seseorang tidak diijinkan menjadi mufti, mengambil putusan atau fatwa terhadap sebuah perkara. Orang biasa, bisa mendasarkan tindakannya pada pengetahuannya sendiri–yang terbatas—atas Qur’an-Hadist, namun tidak boleh menggunakannya untuk menghukumi dan memutus (fatwa) atas tindakan orang lain.
Bahkan pada masa sepeninggal Nabi, hanya ada beberapa sahabat yang biasa mengeluarkan fatwa, yaitu Umar bin Khattab, Aisyah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud, Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Zubair, Abu Musa al-asy’ari, Sa’ad bin bi Waqqash, Salman al-Farisi, Muadz bin Jabbal, Jabir bin Abdullah, Zubeir bin Awwam, Talhah, Abdurrahman bin Auf, serta Abu Bakar. Lima yang pertama dikenal paling banyak fatwanya, diikuti 15 orang kemudian. Bahkan Ali bin Abu Thalib tidak termasuk sahabat yang biasa mengeluarkan fatwa.
Dengan kondisi itu, sekiranya kebiasaan sebagian dari kita yang gemar mengeluarkan fatwa dan memberi putusan atas tindakan orang lain menjadi berkurang. Dalam Islam ada ribuan ayat dan ribuan hadis, dengan teks dan konteks yang beragam, dan hanya pada mereka yang benar-benar alim kita boleh menyandarkan diri sebagai pijakan dan panutan.
Beratnya syarat menjadi seorang mufti, terutama di zaman sekarang, membuat seseorang beralih kepada fatwa kolektif dengan melalui proses ijtihad kolektif. Al-Qaradhawi mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan di zaman sekarang adalah ijtihad kolektif.
Di Indonesia sendiri, pada awal abad ke-20 mulai muncul lembaga fatwa kolektif pertama kali oleh NU dengan Bahtsul Masailnya. Musyawarah Bahsul Masail pertama kali dilakukan pada Oktober 1926 di Surabaya bersamaan dengan Konferensi Besar NU. Pada saat itu, Menurut Nadirsyah Hosen, sistem perumusan fatwa dilakukan dengan merujuk kitab-kitab fikih klasik empat mazhab sebagai sumber utama.
Namun, dalam perkembangannya, jika tidak ditemukan rujukan dalam kitab-kitab fikih, NU mulai menggunakan ilhaq (ilhaqul masail bi Nazairiha), yakni memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaih dan wajhul ilhaq oleh para mulhiq yang ahli; dan istinbath, dengan mempraktekkan Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah oleh para ahlinya.
Dari penjelasan tersebut, baik fatwa individu maupun kolektif, tidak bisa seenaknya dilakukan oleh semua orang, karena dibutuhkan syarat dan keahlian khusus untuk hal itu.
Wallahu A’lam.