Sudah berjuta-juta nyawa, logistik, pikiran dan pemikiran yang dipertaruhkan anak-anak bangsa ini dalam usahanya merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Kemerdekaan yang telah resmi di proklamasikan pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945 adalah anugerah besar yang telah Allah berikan. Anugerah ini bukan berarti mengabaikan usaha-usaha yang telah dilakukan, namun, anugerah itu adalah bagian dari usaha para pejuang bangsa yang tidak kenal lelah dan putus asa. Ini adalah janji Allah “barang siapa yang berbuat baik sebiji zarah maka dia akan melihat balasannya, barang siapa yang berbuat keburukan sebiji zarah maka dia akan melihat balasannya” (al-Zalzalah [90]: 7-8).
Dalam al-Qur’an, kisah Nabi Musa lebih banyak menceritakan perlawanannya dengan pemimpin negara yang diktator, dialah Fir’aun. Penindasan demi penindasan, pembunuhan, pelecehan terhadap perempuan Bani Israil adalah diantara derita yang harus ditanggung oleh Bani Israil (Ibnu Katsir: 1997, vol. 4, 479) dibawah kepemimpinan raja yang dzalim bahkan memiliki ambisi untuk menjadi Tuhan. Al-Farra’ berkata lain. Menurutnya, Fir’aun dan pengikutnya memang banyak menyiksa masyarakat Bani Israil dengan beragam bentuk penyiksaan kecuali menyembelih mereka. Tadzbih (penyembelihan) dalam QS. Ibrahim: 6 bukanlah berarti penyembelihan secara hakiki melainkan gambaran derita Bani Israil atas siksaan-siksaan Fir’aun kepada mereka (al-Baghawi: 2003, 682). Allah menyebutkan siksaan-siksaan yang diderita Bani Israil dalam QS. Ibrahim [14]: 6.
وَإِذ قَالَ مُوسَى لِقَومِهِ اذكُرُوا نِعمَةَ اللهِ عَلَيكُم إِذ أَنجَاكُم مِن الِ فِرعَونَ يَسُومُونَكُم سُوءَ العَذَابِ وَيُذَبِّحُونَ أَبنَاءَكُم وَ يَستَحيُونَ نِسَاءَكُم وَفِي ذَلِكُم بَلاَ ءٌ مِن رَبِّكُم عَظِيمٌ
“Ketika Musa berkata kepada kaumnya: “ingatlah kalian atas nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada kalian, yaitu, ketika Allah menyelamatkan kalian dari tentara Fir’aun yang menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih dan menyembelih anak-anak kalian dan mempermalukan istri-istri kalian. Hal tersebut adalah bala’ yang besar dari Tuhan kalian”.
Al-Thabari (224 -310 H.) mengatakan bahwa ayat ini adalah perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW. untuk menceritakan kepada umatnya tentang kisah Nabi Musa as. yang memerintahkan kepada umatnya untuk mengingat nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka (al-Thabari: 2001, vol. 13, 598-599).
Mengingat dapat berarti juga memperingati, karena memperingati adalah mengingat kejadian-kejadian yang lalu. Mengingat yang diperintahkan Nabi Musa as. kepada umatnya adalah bentuk usaha agar kebahagiaan-kebahagiaan yang lalu membangkitkan hati mereka untuk bersyukur dan berdiri dijalan yang diridhoi-Nya.
Al-Tustari (w. 465 H.) dalam tafsirnya “lathaif al-Isyarah” menjelaskan bahwa dengan mengingat nikmat-nikmat yang telah lalu akan melahirkan dan menyegarkan kebahagiaan-kebahagiaan yang telah lewat. Bahkan al-Tustari mengutip salah satu sebuah hadis “jullibat al-quluub ‘alaa hubbi man ahsana ilaihaa” (al-Tustari: 2007, vol. 2, 117) (hati seseorang tercipta untuk mencintai orang yang telah berbuat baik kepadanya).
Mengingat pentingnya untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang telah Allah berikan, dengan tegas Allah berfirman:
وَإِذ تَأَذَّنَ رَبُّكُم لَئِن شَكَرتُم لَأَ زِيدَنَّكُم وَلَئِن كَفَرتُم إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Ketika Tuhan memberi izin kepada kalian, seandainya kalian bersyukur maka benar-benar akan saya tambahka nikmat kalian dan apabila kalian kufur sesungguhnya siksaku sangatlah pedih” (QS. Ibrahim [14]: 7).
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa QS. 14: 6 adalah bentuk perintah kepada Nabi Muhammad SAW., maka ayat ini memiliki hubungan yang sama dengan ayat sebelumnya. Dalam artian, ayat ini juga perintah untuk Nabi Muhammad SAW. dan umat-umatnya tidak lupa untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada hamba-hambanya dengan tak terbatas.
Mensyukuri nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada mahluk-mahluknya adalah keuntungan untuk manusia itu sendiri, karena, Tuhan tidak membutuhkan apa yang kita kerjakan. Hal sebaliknya, mengkufuri nilmat-nikmatnya, juga tidak berpengaruh pada dzat Allah. Allah berfirman:
وَقَالَ مُوسَى إِن تَكفُرُوا أَنتُم وَمَن فِي الاَرضِ جَمِيعًا فَإِنَّ الله لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Musa berkata: apabila kalian dan seluruh mahluk dibumi kufur, maka sesungguhnya Allah adalah dzat yang maha kaya (tidak membutuhkan) dan maha dipuji” (QS. Ibrahim [14]: 8).
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad diperintahkan untuk menjelaskan kepada umatnya tentang kisah Nabi Musa as. yang mengingatkan umatnya untuk mengingat nikmat-nikmat yang telah Allah berikan sebelumnya kepada mereka. Sebelum mendapatkan anugerah-anugerah tersebut, Bani Israil hidup dalam kungkungan, penindasan, tekanan dan penjajahan yang dilakukan oleh Fir’aun.
Dari tauladan yang telah dicontohkan oleh Nabi Musa as. ketika mengingatkan umatnya atas nikmat dan terbebas dari penjajahan Fir’aun di atas, dalam konteks keIndonesiaan dapat dikatakan, setelah kekejaman penjajah telah terusir secara politik dengan diproklamasikannya kemerdekaan bangsa ini, memperingati kemerdekaan adalah bentuk syukur kepada Allah atas nikmat-Nya yang telah di berikan kepada kita.
Mensyukuri adalah sebuah keharusan meskipun Allah tidak membutuhkan kata terima kasih dan sejenisnya dari manusia secara khusus dan semua mahluk secara umum. Mensyukuri berarti mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif. Mensyukuri berarti menjauhi untuk menjajah sesama manusia, bersikap baik kepada sesama, menghormati dan menghargai tetangga, mereka yang berbeda pendapat dan pilihan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir.