Kalau kata Slank, “Tanahnya subur, rakyatnya makmur”. Idiom itu sangat pas jika dianalogikan pada fenomena sosial religius umat di Indonesia, di mana tempat ibadah sabagai lahan ibadahnya, sebut saja masjid sebagai tempat ibadah umat islam, kini telah kehilangan identitasnya. Mengapa itu bisa terjadi? Dan bagaimana, bisa masjid yang damai akan menjadikan warganya makmur?
Banyak riset terkini menyebutkan bahwa tempat ibadah (masjid) kini telah menjadi lahan radikalisme agama dan politisasi agama. Anda bisa membacanya di riset P3M tentang masjid-masjid pemerintah dan BUMN yang terindikasi menyebarkan kebencian, misalnya. Tentunya itu sangat jauh dari fungsi dan peran masjid sebagai ruang perjumpaan dialogis antar umat manusia dan antar manusia dengan tuhan. Masjid kini bisa jadi menjadi tempat yang kurang mendamaikan, dengan pemeliharaan yang tidak mencerminkan nilai- nilai keislaman itu sendiri.
Seperti halnya yang pernah penulis alami, saat diundang untuk menghadiri diskusi dengan tema kerusakan alam atau sumber daya alam di Indonesia di sebuah masjid di Malang. Lokasinya dekat dengan kampus besar di Malang. Berjarak 200 meter dari kampus itu. Diskusi pun dihadiri oleh sekitar 50 pemuda.
Awalnya penulis tidak tahu asal muasal kelompok itu, karena tidak menggunakan simbol organisasi atau komunitas secara lugas. Kelompok itu menyebutnya sebagai kelompok diskusi mahasiswa pembebasan. Alhasil, penulis optimis saja bahwa diskusi akan berjalan kritis dan menghasilkan gagasan yang segar tentang sumber daya alam Indonesia.
Akan tetapi, apa yang terjadi saat diskusi hampir berakhir, salah satu narasumber menyebutkan bahwa solusi kerusakan alam di Indonesia adalah khilafah, dengan khilafah alam Indonesia akan lestari dan tidak dieksploitasi.
Baca juga: Alasan mengapa kita harus menjaga masjid dari tangan politik kotor
Dalam riset Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang dirilis beberapa bulan lalu itu, dengan objek penelitian masjid lingkup kantor pemerintahan memberikan fakta yang cukup mencengengkan; 35 masjid di kementerian, 28 masjid di lembaga negara, dan 37 masjid di BUMN. Hasilnya cukup menakjubkan, dari 100 masjid yang telah disurvey sebanyak empat kali salat Jumat ditemukan kategori masjid terindikasi radikal sejumlah 41 masjid.
Kategorisasi itu pun dibagi lagi menjadi tiga level; rendah, sedang dan tinggi. Ada sekitar 7 masjid yang masuk level rendah, level di mana masjid yang tidak setuju intoleransi, tetapi memakluminya. Selanjutnya, ada sekitar 17 masjid masuk level sedang, level masjid ini menyetujui sikap intoleran dan setuju berdirinya negara Islam. Terakhir, 17 masjid pula masuk dalam level tinggi, di mana masjid yang bisa melakukan provokasi pada jemaah masjid.
Tingkatan itu bukan berarti masjidnya yang radikal, akan tetapi pemeliharanya; imamnya, jamaahnya, atau pengelola masjidnya. Tentunya seperti itu, karena masjid tidak bisa berdiri sendiri , ia benda mati, yang dihidupkan oleh sejumlah manusia. Manusia ini lah yang kemudian memberikan sifat kepada masjid itu, sehingga muncullah kategorisasi masjid yang tidak memberikan rasa kedamaian dan kesejukan.
Penemuan itu hanyalah secuplik gambaran dari beberapa masjid yang berhasil disurvey. Bayangkan saja, jika lembaga riset atau bahkan negara turut andil melakukan survey lebih dalam terkait kondisi masjid yang ada di Indonesia, yang akhir ini telah mengalami kemerosotan peran dan fungsinya.
Jikalau kita ketahui, bahwa masjid sejak zaman nabi Muhammad SAW tidak hanya dijadikan sebagi tempat salat. Akan tetapi, masjid juga digunakan sebagai aktivitas sosial kemasyarakatan, di antaranya adalah sebagai ruang belajar, ruang berteduh dari ancaman, ruang untuk menjalin persaudaran anatar manusia satu dengan lainnya. Masjid adalah tempat segala umat yang mengharapkan kedamaian.
Baca juga: Politisasi masjid, kita mau kembali ke abad pertengahan?
Masjid hendaklah memberikan rasa aman kepada semua orang, apapun agamanya. Hal itu bisa dilakukan dengan serendahnya iman adalah tidah menghina, mencaci atau mengkafirkan orang yang tidak beragama islam.
Sekuat iman yakni dengan cara memberikan ruang apresiasi kepada semua umat beragama untuk melakukan diskusi atau dialog yang dapat memberikan sumbangan pendidikan, sosial dan ekonomi bangsa.
Bayangkan saja, jika masjid yang dibangun megah itu dapat memeberikan kedamaian kepada semua golongan, apalagi dapat memberikan kemakmuran kepada rakyat secara umum, ini pasti akan ada keindahan. Keindahan itu akan terjadi jika masjid- masjid berhenti mengkampanyekan kebencian, intoleransi dan khilafah. Masjid harusnya bisa menjadi tempat ibadah yang menyejukkan hati dan pikiran umatnya. Bukan menyejukkan hati saja.
Pikiran umat juga perlu untuk dirangsang menemukan solusi dari persoalan sosial yang dihadapai. Seperti halnya pendidikan dan kemiskinan. Masjid harus bisa membantu menyelesaikan persoalan manusia yang sangat dekat itu. Apakah masjid sudah melakukannya?
Pembaca bisa menilainya sendiri, masjid yang dibangun dari uang rakyat itu saya kira belum bisa menyelesaikan persoalan rakyat di sekitarnya. Masjid (pemelihara/ pemakmur masjid) tidak tahu kalau ada anak yang putus sekolah di sampingnya. Masjid tidak tahu kalau banyak fakir miskin yang membutuhkan pertolongan ekonomi, bukan pada saat Ramadhan atau momen zakat fitrah. Masjid pun tidak tahu kalau di sekitarnya ada orang yang kehausan dan ingin sekedar berkunjung ke masjid untuk mengobati dahaga dengan meminum air mineral.
Masjid kini telah banyak berubah. Masjid hanya dihias indah ala interior Eropa atau Timur Tengah. Masjid lupa menghias dirinya menjadi rumah bersama untuk menjaga dan menjalin rasa kemanusiaan kita yang berkeadilan sosial. Jika masjid damai, maka rakyatnya akan adil dan makmur. Damai di sini adalah kedamaian yang lahir bathin. Sebagaimana yang pernah diucapkan Al Maghfurllah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, “Peace Without Justice is an Illusion”- Perdamaian tanpa keadilan adalah sebuah ilusi.